EkonomiOpiniPolitik

Kebangkitan Kapitalisme dan Kemerdekaan Bangsa Indonesia

Indonesia sebagai sebuah bangsa sudah hampir 9 dekade. Tepat pada 28 oktober 1928, berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke mengikrarkan diri sebagai sebuah entitas yang satu, bangsa Indonesia. Setelah 17 tahun Kelahiran Indonesia sebagai bangsa pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia pun terlahir sebagai sebuah negara. Baik Indonesia yang lahir sebagai bangsa atau Indonesia lahir sebagai negara, sama-sama memiliki cita-cita untuk membebaskan nusantara dari jajahan bangsa asing.

Hari ini, Indonesia memang sudah merdeka secara de jure, tetapi tidak secara de facto. Sebab, ekonomi dan politik Indonesia masih terjajah oleh hegemoni negara dan bangsa asing.

Berbicara kapitalisme, kita tak akan lepas dari pembahasan tentang modal, buruh dan pemilik modal (kapitalis). Kita belajar dari sejarah, dalam hal ini segala sesuatu yang berkaitan dengan lahirnya kapitalisme. Secara singkat, lahirnya kapitalisme diakibatkan adanya revolusi industri. Tetapi secara mekanis, kapitalisme diakibatkan karena bertambahnya efektifitas dalam melaksanakan kegiatan usaha atau bisnis dikarenakan kemajuan dalam bidang teknologi produksi dan informasi serta mengalami pelipatan laba atau modal yang terus bertambah akibat adanya keuntungan dalam jumlah besar. Sehingga efek dari adanya keuntungan besar ini yang dibantu dengan kemajuan teknologi dan manajemen kerja yang efektif, sang pemilik modal akan berfikir bagaimana cara dan langkah memanfaatkan dana atau modal tersebut agar terus berputar melahirkan laba atau keuntungan terus menerus. Sehingga sering kali seorang pemilik modal menginvestasikan uangnya ke berbagai usaha.

BACA JUGA: Kekayaan 4 Orang Indonesia Setara Dengan 100 Juta Penduduk

Kelebihan dana inilah yang akan terus menerus bekerja menghasilkan uang untuk pemilik modal di berbagai jenis investasi. Fenomena seperti itu yang terjadi di era awal bangkitnya kapitalisme barat (kapitalisme tua). Dalam perkembangannya, kapitalisme barat menggeser investasinya ke negara-negara potensial seperti Australia, Amerika Serikat, Austria, dan lain-lain. Sehingga aliran modal dari Inggris ke Amerika serikat, Australia, Austria dan lain-lain mengalami perpindahan secara besar-besaran. Di negara asal kapitalisme, katakanlah seperti Inggris, paska revolusi industri, dengan kemajuan teknologi produksi, efeknya terhadap penggunaan tenaga buruh dikurangi dan digantikan dengan tenaga mesin. Akibatnya, banyak masyarakat buruh di Inggris yang menganggur.

Sehingga Investasi Inggris ke negara tujuan dilakukan juga sebagai solusi untuk mengurangi pengangguran. Itulah sebabnya terjadi perpindahan penduduk besar-besaran dari inggris ke Amerika Serikat, Australia dan Austria. Artinya bukan hanya modal negara kapitalisme yang overload, tetapi manusianya juga overload terhadap ketersediaan lapangan perkejaan sehingga modal dan manusianya dipindahkan sekaligus dalam waktu bersamaan agar bisa bekerja di industri-industri baru di negara tujuan Kapitalisme Barat.

BACA JUGA: Infid: Ketimpangan Sosial di Indonesia Meningkat

Terkait Indonesia, dimulai dari sebuah perusahaan dari belanda, yaitu VOC. Secara politik hukum, kapitalisme barat menancap di bumi nusantara adalah dengan lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet). Inilah legitimasi terhadap swasta asing menguasai aset tanah dan mendirikan industri di tanah Jawa. Puncaknya adalah kebijakan politik pintu terbuka (1905) oleh Belanda yang mengakibatkan aliran modal Inggris, Amerika, Belanda, dan lain-lain mulai masuk ke berbagai industri pertanian dan perkebunan. Bahkan di era selanjutnya, sektor batu bara, mineral dan migas (minyak dan gas).

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Pola yang sama juga terjadi dalam kontek bangkitnya sebuah kekuatan ekonomi dan pilitik baru, yaitu Cina (kapitalisme muda). Tetapi hanya sedikit di sektor sumber daya alam. Karena sektor sumber daya alam sampai hari ini masih dikuasai oleh blok kapitalisme barat. Terkait perdagangan internasional, tentu pemilik modal dari sebuah Multinational Corporation (MNC) dalam hal ini juga akan menginvestasikan uangnya di berbagai negara yang prospektif, tidak terkecuali Indonesia.

Kita belajar dari kebangkitan kapitalisme barat di mana kapitalisme bukan hanya memiliki kepentingan ekonomi tetapi politik sekaligus. Karena ekonomi dan politik dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kapitalisme membutuhkan kebijakan politik yang dapat memuluskan nafsu bisnisnya. Bagaimana polanya?

Kalau dulu infiltrasi investasi kapitalisme barat masuk ke Indonesia melalui Belanda, melalui kebijakan Agrarische Wet dan politik pintu terbuka. Sedangkan hari ini kapitalisme Cina masuk melalui kedekatan antara pemerintah Cina dengan rezim penguasa. Melalui kebijakan politik rezim Jokowi, hari ini perusahaan-perusahaan dan bank Cina menggandeng beberapa BUMN dan swasta Indonesia, baik melalui investasi langsung secara join venture atau melalui peminjaman kredit.

Belajar dari bangkitnya kapitalisme barat, maka investasi yang dilakukan juga sekaligus membawa buruh untuk pindah ke negara tujuan investasi. Itulah sebabnya lahir sebuah syarat investasi yang ditetapkan oleh Cina, yaitu Turnkey Project. Sebuah model investasi yang akan menjadikan Cina menghegemoni secara ekonomi dan politik. Turnkey Project mensyaratkan bahwa pendanaan, tenaga ahli hingga buruh kasar proyek investasi harus dikirim langsung dari Cina. Tidak ada ruang untuk pribumi masuk dan ikut serta dalam investasi tersebut. Kebijakan ini didorong tentu karena sudah overload-nya penduduk negara Cina, sekitar 1,3 miliar jiwa. Kebijakan ini juga bertujuan agar tingkat pengangguran di Cina bisa dikurangi. Turnkey Project cukup sukses dilaksanakan di beberapa negara di Afrika, yang berhasil membuat perpindahan besar-besaran penduduk Cina.

Turnkey Project dan PP 103 tahun 2015

Sebagaimana disinggung di awal bahwa bangkitnya sebuah rezim kapitalisme karena adanya dana yang overload di negara asal kapitalisme. Agar tak merugi, maka investasi ke negara lain adalah jalan yang harus ditempuh. Selain itu, untuk menanggulangi overload-nya jumlah penduduk dan dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran di negara asal kapitalisme, negara asal kapitalisme juga akan memindahkan penduduknya dari mulai tenaga ahli hingga tenaga kasar. Apa yang dilakukan oleh kapitalisme barat, sama persis apa yang dilakukan oleh kapitalisme Cina hari ini. Mereka sama-sama menginfiltrasi agar kepentingan bisnis mereka untung sebesar-besarnya tanpa memperdulikan kepentingan nasional pribumi Indonesia.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Kita kutip fakta sejarah misalnya, tahun 1870 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Agrarische Wet (UU Agraria) dan UU tentang industri gula. Kebijakan ini tentu sudah diaminkan oleh sebagian para bangsawan dan kelas feodal serta mereka yang bersekongkol dengan kolonial. Inti dari kebijakan tersebut adalah diperbolehkannya swasta asing memiliki tanah dan properti. Sehingga sangat membantu perkembangan bisnis swasta asing. Pola yang sama juga terjadi di era rezim Jokowi hari ini.

BACA JUGA: Ini Bukti Presiden Jokowi Seorang Neolib

Terkait investasi asing, sudah menjadi konsensus yang diperbolehkan melalui UU Penaman Modal Asing sejak awal orde baru. Akan tetapi belum ada satu peraturan yang melegalkan kepemilikan tanah atau properti bagi warga negara asing. Akan tetapi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 (PP No.103/2015) tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, kepemilikan tanah atau properti bagi WNA menjadi hal yang mungkin dilakukan.

Tanah atau properti boleh dimiliki oleh WNA selama memenuhi 3 hal. WNA tersebut melakukan investasi, berbisnis dan/atau bekerja di Indonesia. PP 103/2015 menganggap 3 hal tersebut dapat memberikan manfaat bagi Indonesia. Kalau kita analisis ada kaitan yang sangat erat antara Turnkey Project dengan PP 103/2015 yakni sebagai kebijakan yang memfasilitasi Investor Cina agar bisa memindahkan penduduknya secara besar-besaran ke Indonesia.

Bangsa Indonesia dan Warga Negara Indonesia

Terkait kapitalisme Cina,sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, sekitar 1,3 miliar jiwa tentu memiliki pengaruh positif dan negatif. Fakta membuktikan pengaruh positifnya adalah bangsa Cina yang ada di Indonesia dari dulu terbukti berkontribusi membangun perekonomian di Indonesia. Itu makanya sangat banyak pengusaha dari kebangsaan Cina ini. Akan tetapi hari ini, ketika penduduk negara asalnya sudah sangat overload, maka dengan adanya sistem investasi Turnkey Project dapat menjadi opsi terbaik agar penduduk negara Cina bermigrasi lagi ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.

Apalagi jika migrasi penduduk Cina ini difasilitasi di negara tujuan, sebagaimana di Indonesia melalui PP No. 103/2015 agar bisa memiliki tanah, rumah, apartmen dan properti lainnya. Kemudian jika ditinjau melalui pasal 9 UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, ketika penduduk Cina yang bermigrasi tersebut tinggal secara berturut-turut selama 5 tahun di Indonesia atau secara tidak berturut-turut selama 10 tahun, maka bisa mengajukan permintaan menjadi warga negara Indonesia kepada presiden. Artinya perpindahan penduduk Cina dalam jumlah besar bisa memiliki kesempatan menjadi warga negara Indonesia. Praktik semacam ini sebut disebut dengan istilah proxy war (perang non militer).

BACA JUGA: Turnkey Project Bikin Tiongkok Leluasa Kirim Warga Negaranya Ke Indonesia

Melihat realitas seperti ini, kita hanya berdoa agar bangsa Indonesia tidak menjadi seperti bangsa Aborigin di Australia, bangsa Indian di Amerika Serikat dan bangsa Melayu di Singapura. Karena bangsa pribumi asli dari 3 negara tersebut di atas terpinggirkan dari tanah airnya sendiri. Semoga pribumi Indonesia mampu survive di tengah tantangan ekonomi, sosial dan politik internasional. Walaupun harapan itu ada, tetapi sangat kecil. Sebab, realitas hari ini, seluruh aspek industri dan perdagangan dikuasai oleh segelintir orang warga negara Indonesia yang berkebangsaanasing atau keturunan.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara bBangsa Indonesia dan warga negara Indonesia (WNI). Bangsa Indonesia adalah orang yang mendiami wilayah nusantara yang terdiri atas suku bangsa, bahasa, agama dan budaya dari Sabang sampai Merauke, yang kehidupannya telah terikat dengan adat istiadat setempat serta mereka mengikuti Kongres Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Artinya bangsa Indonesia adalah mereka yang hidup di bumi nusantara dan sudah terikat dengan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terdahulu. Bangsa Indonesia inilah yang berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dan mengambil momentum Sumpah Pemuda sebagai kelahiran bangsa Indonesia.

Akan tetapi pasca dibentuknya Negara Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul istilah warga negara Indonesia. Pengaturan dalam konstitusi dan Undang-Undang, identitas kewarganegaraan Indonesia dimungkinkan diberikan kepada kebangsaan asing juga. Itu sebabnya mengapa ada warga negara Indonesia yang berkebangsaan Eropa, Arab, India, Pakistan, Cina, dan lain-lain. Itulah jiwa konstitusi kita yang terbuka dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia merangkul seluruh etnis dan bangsa dunia untuk bersatu memajukan Indonesia, walaupun realitas hari ini bangsa Indonesia asli (pribumi) termarjinalisasi secara ekonomi di tanah airnya sendiri.

BACA JUGA: DPR: Bebas Visa Jadi Pintu Masuk TKA Ilegal

Melalui tulisan ini, semoga menambah sudut pandang kita bahwa sejarah itu terus berulang. Pola kebangkitan kapitalisme barat dan kapitalisme Cina memiliki kesamaan. Pertama berpindahnya modal atau investasi ke negara lain. Kedua, berpindahnya penduduk negara asal kapitalisme menuju negara tujuan investasi. Antara Turnkey Project dan PP No.103/2015 memiliki hubungan yang sangat erat dalam rangka memudahkan perpindahan penduduk Cina secara besar-besaran.

Sangat penting dan mendesak agar bangsa Indonesia menggalang persatuan ekonomi dan politik untuk bangkit dari belenggu penjajahan ekonomi kapitalisme barat ataupun Cina. Bangsa kita tidak anti dengan bangsa asing, tetapi anti dengan dominasi dan hegemoni bangsa asing di sektor ekonomi, sehingga bisa mengintervensi kebijakan politik. Sehingga mengisolir bangsa Indonesia, investor dan pewaris sejati NKRI. Hal itu akan mengakibatkan timpangnya keadilan di negeri ini. Marilah kita saling memaafkan di antara perbedaan dan konflik yang terjadi belakangan ini, demi persatuan dan kemajuan indonesia di masa yang akan datang.

Penulis: Hilkadona Syahendra, ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda Republik Indonesia (DPD GMPRI Riau)

Catatan: Opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 9