Keanehan BUMN Pertamina di Balik Pencopotan Dirut PPI

Gedung Pertamina. (Foto: Wikimedia)
Gedung Pertamina. (Foto: Wikimedia)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada November tahun lalu, Ginanjar Sofyan dicopot dari jabatannya oleh Nicke Widyawati. Tepatnya pada Jumat 15 November 2019.

Ginanjar Sofyan merupakan Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI), anak usaha PT Pertamina (Persero).

Pemecatab Ginanjar dinilai aneh karena dilakukan saat Pertamina tengah hendak diselamatkan keuangannya.

“Aneh mau nyelametin duit Pertamina, alias duit negara, kok Ginanjar Sofyan, Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI), anak usaha PT Pertamina (Persero,) di sektor energi terintegrasi malah dipecat oleh Direktur Utama Pertamina. Ada apa ini. Apakah ada dugaan hanky panky ke oknum pejabat tinggi di Pertamina?,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono, Jakarta, Kamis (2/12/2019).

Ginanjar orang berprestasi, kata Poyuono. Ia dipecat hanya karena perseteruan.

“Orang berprestasi dicopot akibat perseteruan Ginanjar dengan Marubeni, perusahaan Jepang yang jadi mitra PPI di proyek PLTGU Jawa 1 berkapasitas 1.760 megawatt yang dibangun di Cilamaya, Kabupaten Karawang,” ungkapnya.

Dia mengungkapkan, Dirut PPI Ginanjar itu punya prestasi yang jauh lebih kinclong dari Direksi Pertamina untuk mendukung program besar presiden Joko Widodo yaitu program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt.

“Jika dibandingkan kinerja Direksi Pertamina yang ditugaskan oleh presiden Joko Widodo untuk bangun 5 kilang selama 5 tahun enggak ada yang jelas hingga kini dan buat Kangmas Joko Widodo jengkel akibat impor migas makin banter,” katanya.

Poyuono lalu menjabarkan prestasi Ginanjar Sofyan semasa menjabat di Dirut PPI.

“Terbukti dari kemampuannya menjaring investor luar terutama Jepang dan mengelola menjadi mitra PPI dalam konsorsium, serta mengelola lebih dari 20 partners pendukung domestik dan internarional dalam pengembangan PLTGU Jawa 1,” papar Poyuono.

Dalam waktu cepat, lanjut dia, tepatnya 14 bulan, Ginanjar berhasil melakukan financial close dengan lenders yang dipimpin oleh Japan Bank for International Cooperarion (JBIC).

“Dari lenders, konsorsium dapat development fee US$ 55 juta. Ini bagus sekali. Salah satu konsorsium perusahaan yang bangun PLTU dengan nilai investasi lebih besar dari PLTGU Jawa 1 juga dapat development fee lebih kecil dari lenders, hanya US$ 20 juta. Artinya, lenders sangat percaya pada Dirut PPI,” ungakpnya.

Selain itu, kata dia, PPI bukan hanya menjadi ikon di tataran internasional karena kompleksitas proyeknya, tapi juga merupakan proyek dengan harga atau tarif listrik termurah dan berbasis energi bersih yaitu LNG. Efisiensi mungkin menjadi kunci kemenangan dan murahnya tarif listrik proyek yang dipimpin PPI tersebut.

“Di bawah Ginanjar, PPI berhasil hemat sebesar US$ 62 juta untuk proyek PLTGU Jawa 1 dan masih terdapat potensi penghematan biaya proyek sebesar US$48 juta jika tidak terjadi cost overrun atau change order,” sebutnya.

“Aneh, Ginanjar yang protes dan bersikap berseberangan dengan Marubeni, perusahaan asal Jepang itu yang dinilai tidak mengedepankan etika bisnis dan mencegah kerugian negara serta, isu tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), serta efisiensi biaya proyek, dan perrgantian operator FSRU dari Belgia (Exmar) oleh Perusahan Jepang lainnya (Mitsui OSK Line/MOL). Kok malah dicopot sebagai Dirut PPI,” tambahnya.

Menyikapi kasus pencopotan Gunanjar ini, Poyuono menyarankan Menteri BUMN, termasuk juga Basuki Tjahaja Purnama harus membentuk tim investigasi dengan adanya ketidakberesan dalam proyek PLTGU Jawa 1.

“Dan jika mantan Dirut PPI yang benar, maka copot semua direksi Pertamina dan Ginanjar layak pimpin Pertamina untuk bisa selesaikan pembangunan lima kilang minyak yang dimimpikan oleh Kangmas Joko Widodo,” ucap Poyuono. (sell/sul)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version