Hukum

Kawan8 Bersama FROMHI Menagih Janji Reformasi Hukum

NUSANTARANEWS.CO – Reformasi hukum yang dijanjikan pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi hingga saat ini masih masih jauh dari cita-cita reformasi. Banyak kasus-kasus hukum di Indonesia yang masih diproses secara tidak transparan dan memenuhi asas keadilan, baik dalam proses penyelidikan, penyidikan serta persidangan, yang sering kali menyeret orang tidak bersalah ke dalam penjara.

Salah satu contoh lemahnya penegakkan hukum dan terjadinya peradilan sesat adalah yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual 2014 yang menyeret 7 orang tidak bersalah – lima petugas kebersihan dan dua guru sekolah internasional, JIS –  kedalam penjara dan 1 orang tewas dalam proses penyidikan polisi.

Untuk mengingatkan kembali mengenai kasus ini, pada awal 2014 lalu, publik dikejutkan oleh pemberitaan mengenai tuduhan kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta Intercultural School (JIS). Seluruh masyarakat mengecam peristiwa yang menghebohkan di media massa tersebut.

Baca: FROMHI Tuntut Janji Ditegakkannya Keadilan Dalam Kasus JIS

Baca Juga:  Tentang Kerancuan Produk Hukum Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

Delapan orang, yang terdiri dari enam petugas kebersihan (Agun Iskandar, Virgiawan, Syahrial, Zaenal, (Alm) Azwar serta Afrischa Setyani) dan dua orang pengajar (Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong) dituduh melakukan kekerasan seksual pada anak murid TK di JIS. Awalnya, ibu dari anak yang mengaku korban (MAK) mengajukan tuntutan perdata senilai USD12,5 juta kepada JIS. Setelah menggandeng pengacara OC Kaligis (yang tertangkap KPK dan kemudian dihukum karena kasus suap), tuntutan tersebut naik menjadi USD125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun.

Disebutkan dalam diskusi publik bertema “Menuntut Janji Reformasi Hukum: Ditegakkannya Keadilan Dalam Kasus JIS” bahwa, angin segar datang dari Singapura dan Belgia. Hasil pemeriksaan anuscopi yang dilakukan oleh ibu dari AD, salah satu anak yang juga mengaku menjadi korban, di RS KK Women’s and Children’s Hospital di Singapura tidak menunjukkan adanya kekerasan seksual, seperti yang disangka oleh ibu si anak.

Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium di rumah sakit Belgia yang dilakukan oleh ibu dari MAK (yang melakukan tuntutan Rp 1,6 triliun), ternyata juga menunjukkan si anak tidak menderita penyakit herpes, yang menjadi sebab tuduhan awal dugaan terjadinya kekerasan seksual. Namun, lagi-lagi pengadilan kita abai atas temuan tersebut.

Baca Juga:  Perlu Perda Perlindungan, Inilah Cara Tekan Kriminalisasi Guru di Jawa Timur

Demi asas keterlanjuran dan mengamini opini publik yang terbentuk di awal kasus, Mahkamah Agung (MA) menyatakan delapan orang tersebut bersalah. Kelima orang petugas kebersihan divonis 7-8 tahun penjara, sedangkan dua orang guru 11 tahun penjara. Sekali lagi, keadilan terbunuh dalam pengadilan sesat.

Juru bicara Kawan8 Nabila Awalia menyampaikan bahwa, Kawan8 melihat begitu banyak kejanggalan dari kasus tersebut. Termasuk bukti-bukti yang sumir dan tuntutan finansial fantastis yang menjadi pertanyaan terhadap motif sebenarnya dibalik kasus ini.

“Ketujuh orang yang dituduh atas kejahatan yang tidak mereka lakukan dan satu orang almarhum yang wafat pada saat proses penyelidikan polisi ini adalah korban kriminalisasi yang harus diperjuangkan nasibnya. Kami berharap para hakim di Mahkamah Agung (MA) dapat meninjau kembali kasus ini secara teliti dan seksama – tidak terpengaruh oleh opini publik yang pernah terbangun dua tahun lalu, dan menggunakan nurani dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya,” terang Nabila Awalia, di Gedung Joeang 45, Jakarta Pusat, Selasa (10/1/2017). (sule)

Related Posts

1 of 2