Lintas Nusa

Kaum Difabel Wajib Difasilitasi oleh Negara

NusantaraNews.co, Mataram – Salah satu poin penting yang disepakati dalam Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Maudluiyah ialah konsep fiqih penyandang disabilitas. Dalam kesepakatan tersebut berbunyi, Islam memandang semua manusia adalah setara.

“Yang membedakannya adalah tingkat ketakwaannya. Tak terkecuali bagi para penyandang disabilitas. Mereka berhak mendapat perlakuan manusiawi dan layanan fasilitas bagi keterbatasan yang mereka alami,” terang Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen selaku pimpinan sidang di Pondok Pesantren Darul Falah, Jalan Banda Seraya 47, Kecamatan Pagutan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/11).

Dalam rumusan yang disusun dinyatakan pula bahwa Islam tak memandang penyandang disabilitas itu secara negatif. Islam memandang hal itu sebagai ujian. Pertama, ujian bagi yang penyandang disabilitas, apakah yang bersangkutanbisa sabar atau tidak. Kedua, juga ujian bagi pihak lain, apakah mereka memiliki kepedulian pada penyandang disabilitas atau tidak.

Secara fiqih, mereka tetap dibebani kewajiban menjalankan kewajiban syariat (taklif) selama akal mereka masih mampu bekerja dengan baik. Hanya saja Islam memberikan keringanan menurut kondisinya. Mereka diperbolehkan menjalankan kewajiban sesuai dengan batas kemampuannya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

“Karena sebagian penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan syariat Islam, maka negara punya kewajiban bukan hanya membuat kebijakan melainkan juga menyediakan fasilitas publik yang ramah terhadap kaum penyandang disabilitas-kaum difabel,” bunyi rumusan tersebut.

Dalam konteks penyandang disabilitas, negara memiliki tanggung jawab membuat penyandang disabilitas bisa menjalani kehidupan secara nyaman. Ruang publik dibuat ramah terhadap penyandang disabilitas.

Begitu juga dengan ruang-ruang komunal seperti rumah ibadah. Khutbah-khutbah keagamaan yang disampaikan juga perlu mempertimbangkan keberadaan kaum difabel netra, difabel rungu, dan sebagainya. Karena itu ketika khutbah disampaikan, masjid-masjid di Indonesia perlu menyediakan bahasa isyarat, teks tertulis, dan sebagainya.

“Tentu pemenuhan segala kebutuhan warga negara harus mempertimbangkan kemampuan negara. Sebab, tidak jarang dijumpai ketimpangan antara daftar kebutuhan yang harus dipenuhi dan keterbatasan anggaran yang tak bisa dihindari. Jika itu terjadi, maka negara perlu membuat skala prioritas dengan mendahulukan orang yang sangat membutuhkan daripada yang sekedar butuh.”

Baca Juga:  DPRD Nunukan Berharap Semenisasi di Perbatasan Dapat Memangkas Keterisolasian

Forum sidang komisi ini juga menyinggung soal keterkaitan konsep disabilitas dengan faktor sosial. Seseorang disebut penyandang disabilitas ketika ia tidak memiliki akses yang sama dengan orang normal pada umumnya lantaran fasilitas yang terbatas atau masyarakat yang tidak ramah dengan keadaan orang tersebut.

Hasil diskusi peserta bahtsul masail ini akan dibawa ke siding pleno pada Sabtu (25/11) besok untuk ditinjau bersama lalu ditetapkan secara resmi. Selain soal fiqih disabilitas, musyawirin juga mendiskusikan tentang ujaran kebencian, distribusi lahan/aset, konsep amil dalam negara modern menurut pandangan fiqih, konsep taqrir jama’i, dan konsep ilhaqul masail binadhairiha.

Komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Maudluiyah lebih fokus pada pembahasan isu-isu tematik-konseptual ketimbang menemukan hukum halal-haram. Rumusannya dipaparkan dalam narasi dekriptif. (*/red)

Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 12