Khazanah

Kathok Kecil Kekecilan, Kathok Gedhe Kegedean

“Kathok Kecil Kekecilan, Kathok Gedhe Kegedean,” bukan soal mode pakaian, bahkan tak ada kaitannya sama sekali dengan pakaian. Adagium yg muncul dari parikan ludruk itu merupakan “sanepo” (sindiran) atas perilaku budaya sekelompok masyarakat yang tertatih-tatih mengikuti perubahan zaman.

Parikan yang terkenal pada era 50an, bahkan ada yang menyebut sudah muncul sejak era kolonial, menjelang kemerdekaan, pada mulanya menggambarkan kelakuan orang-orang yang sok medern. Mereka mengikuti gaya hidup Barat modern, mulai cara bicara, gaya pakaian sampai selera makanan. Namun isi kepala, kemampuan profesional bahkan kualitas diri sangat jauh dari yang disebut modern. Pendeknya, mereka ini adalah orang-orang yang bergaya hidup modern tatapi bermental primitif.

Orang-orang seperti ini menggunakan modernisme hanya sebagai topeng agar bisa melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Dengan simbol diri sebagai orang modern mereka bisa masuk dalam komunitas elit sosial dan menempati posisi elit di tengah-tengah masyarakat tradisional yang menjadi basis sosialnya.

Meski masuk dalam masyarakat modern dan tampil dalam gaya hidup metropolis namun kerena pola pilir dan mentalitasnya tidak sesuai dengan kultur modern maka tetap saja tidak bisa mengikuti dan masuk dalam kultur modern secara baik. Mereka ini seperti memakai pakaian kebesaran. Modernisme terlalu besar bagi pikiran dan budaya hidup mereka yg kerdil dan dangkal. Inilah yang disindir oleh para pemain ludruk dengan parikan “kathok gehde kegedean”.

Di sisi lain orang, orang seperti ini merasa malu terhadap budaya tradisional yang menjadi basis sosiologis mereka. Mereka bahkan ikut-ikutan membenci dan memandang pejoratif terhadap berbagai bentuk tradisi dan berusaha menghancurkannya beserta nilai dan ajaran moral yang ada di dalamnya. Selain untuk menghilangkan jejak, sikap ini juga merupakan bentuk peneguhan diri untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah manusia modern.

Inilah yang dimaksud dengan “kathok kecil kekecilan” yaitu orang-orang yang tdk nyaman lagi pada tradisinya karena merasa lebih hebat dan lebih besar. Mereka memandang tradisi sebagai penghambat, seperti memakai celana kekecilan.

Dalam konteks kekinian, fenomena budaya seperti ini tertransformasi dalam gerakan keagamaan. Bentuk “kathoknya” bukan lagi tradisionalitas dan modernitas tetapi bergeser menjadi “kathok” Islam dan adat (bid’ah). Ini bisa dilihat pada terjadinya arus puritanisasi, simbolisasi dan formalisasi agama yang menjadi “kathok” dalam berislam. Agar kelihatan sholeh, islami dan alim banyak orang berbondong menggunakan simbol-simbol agama dan melaksanakan ritus-ritus agama yang murni, asli dan genuin.

Meski dengan ilmu dan kemampuam pemikiran keagamaan yang terbatas namun mereka berani lantang bicara, berteriak dan mencaci maki bahkan memfitnah orang lain dan ulama-ulama yg lebih alim yg tidak sefaham dg mereka.

Sikap keberagaman yang simbolik formal ini merupakan cara pragmatis dan cepat untuk memperoleh legitimasi kesalehan. Mereka tidak perlu lagi susah payah belajar agama dengan membaca kitab-kitab klasik dan metode pemahaman yang jlimet. Mereka cukup baca beberapa ayat Qur’an dan terjemahannya serta beberapa hadits kemudian menghafalnya lalu berorasi di depan publik dengan tampilan kustum agamis maka dia akan jadi ustadz, ulama dan orang shaleh.

Di sini terjadi kesenjangan antara “kathok” (wadah) yang berupa simbol-simbol, ritus dan tampilan keislaman dengan kualitas pemkkiran, kearifan dan kealiman para tokoh dan pengikutnya sebagai isi. “Katok” besar yg berupa teks, simbol dan ritus keislaman yang agung dan mulia hanya diisin oleh orang kerdil berpemahaman sempit dan dangkal. Gambaran terjadinya kathok kedhe kedhodoran jelas terlihat dalam fenomena ini. Inilah yang menyebabkan terjadinya gocangan sosial, karena ketidak sesuaian antara wadah dengan isi, antara tampilan dengan substansi.

Kelompok formalis tekstual ini juga tidak bisa masuk dalam pakaian yang lebih kecil yaitu adat dan tradisi. Mereka ini tidak melihat adat dan tradisi sebagai produk budaya yang bisa menjadi sarana (wasilah) dan metode (manhaj) dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat, tetapi jstru menganggapnya sebagai kotoran yang harus dibersihkan karena bisa merusak kemurnian Islam. Dengan demikian jelas mereka akan kekecilan untuk menggunakan baju tradisi ini.

Akibat baju yang kebesaran ini, agama hanya menjadi topeng untuk memciptakan realitas seolah-olah yang semu (hiperreality). Realits semu inilah yang oleh Jean Boudrillard menghasilkan ruang simulakra. Menurut Boudrillard, simulakra merupakan hasil penggandaan atas penggandaan yang berjalan secara terus menerus yang dalam proses produksi dan reproduksinya sampai meninggalkan atau mengabaikan realitas atau referensi asli (Rosenau, 1992; xiv)

Kelihatannya mereka berpegang pada referensi asli. Bahkan jargon mereka adalah kembali pada qur’an dan sunnah yang asli. Namun karena hal itu dilakukan tanpa perangkat ilmu dan kapasitas spiritual yang memadai maka akhirnya terjebak dalam simulakra. Melipatgandakan makna simbolik secara terus menerus hingga mengabaikan teks dan realitas itu sendiri. Seperti terlihat pada sikap pengulamaan terhadap orang-orang yg sebenarnya belum mencapai derajad ulama, pelipat gandaan jumlah massa pendukung. Akibatnya lahir sosok yang seolah olah ulama, seolah olah ada massa jutaan, seolah olah sesuai qur’an hadits dan sebagainya.

Fenomena ini muncul karena adanya trend memakai kathok yg kegedean, sehingga mereka jadi kedodoran. Meski kedodoran, namun mereka tetap bertahan memakainya demi terlihat shaleh dan islami. Untuk menutupi kondisi kedodoran karena kathok yang kegedean, mereka menciptakan hyperlealitas dlm ruang simulakrum.

Meski terkesan jenaka dan asal-asalan namun ternyata parikan tersebut memiliki makna yang dalam. Dia tidak saja mampu mendiskripsikan fenemena sosial yang rumit menjadi sederhana sehingga mudah dipahami, tetapi juga sekaligus memberikan kritik yg tajam dengan cara yang halus dan bijak. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang tidak saja cerdas nalar, tetapi juga memiliki kepekaan batin dan kelembutan hati.

*Al-Zastrouw, (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.

Related Posts

1 of 6