Rubrika

Kata M Nasir, 300 Mahasiswa Indonesia yang Disuruh Kerja Paksa di Taiwan Tidak Melalui Kemenristekdikti

Menristekdikti, Mohamad Nasir (Foto Dok. Nusantaranews)
Menristekdikti, Mohamad Nasir (Foto Dok. Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kabar tentang 300 mahasiswa asal Indonesia berusia di bawah 20 tahun diduga menjadi korban kerja paksa di Taiwan. Mereka diduga kuat diperdaya melalui program magang antara kampus yang bekerja sama dengan sejumlah perusahaan.

Hasil investigasi salah satu anggota parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang (KMT), Ko Chih-en, menyebutkan bahwa ratusan mahasiswa Indonesia itu terdaftar kuliah di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei. Mereka dinyatakan masuk perguruan tinggi tersebut melalui pihak ketiga atau perantara. Laporan China Times yang dikutip surat kabar Taiwan News, Rabu (2/1/2018), mengatakan mereka menempuh kelas internasional khusus di bawah Departemen Manajemen Informasi sejak pertengahan Oktober 2018.

Menurut Ko dalam sepekan para mahasiswa itu dikabarkan hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu mereka bekerja empat hari di pabrik selama 10 jam, dan mendapat jatah satu hari untuk libur. Mereka kabarnya dipekerjakan di pabrik lensa kontak di Hsinchu dengan waktu kerja dari pukul 07.30 sampai 19.30 waktu setempat. Mereka harus berdiri selama 10 jam dan membungkus setidaknya 30 ribu bungkus lensa kontak, dengan waktu istirahat hanya dua jam. Mereka yang rata-rata Muslim, lanjut Ko, diberi makanan yang tidak halal bahkan mengandung daging babi.

Baca Juga:  Mendesak Sekali, Siadi: Malang Raya Butuh Trans Jatim

Terkait kabar tersebut, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir mengaku belum mendapat informasinya. Nasir menduga mahasiswa tersebut tidak melalui program dari Kemenristekdikti.

“Saya belum menerima informasi, yang pasti 300 mahasiswa itu masuk Taiwan tidak melalui lembaga pendidikan tinggi atau Kemenristekdikti. Jika ada kerja paksa tidak bisa mengendalikan. Biasanya yang saya dampingi melalui lembaga Taipei Economic and Trade Office (TETO),” kata Menristekdikti usai menghadiri peluncuran program Disemenisasi produk Teknologi dan Santripreneur di kantor PWNU Semarang, Rabu (2/1) kemarin.

Baca juga: 300 Mahasiswa Disuruh Kerja Paksa di Taiwan, Kemlu: Pemerintah Sementara Stop Pengeriman Mahasiswa

Dia menyebut, padahal jika melalui program TETO akan terpantau. Namun, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan lembaga terkait di untuk memastikan kerjasama di bidang perdagangan masalah pendidikan di Taiwan.

“Masuk TETO yakni bidang perdagangan masalah pendidikan. Apakah benar kuliah. Informasi beredar kadang bisa saja SMK. Kuliah sehari lainnya kerja. Karena tidak melalui riset. Akan koordinasi dengan TETO di Jakarta,” kata Mohamad Nasir.

Baca Juga:  Hari Kedua Lebaran 2024, Tokoh Lintas Elemen Datang Halal Bihalal ke Khofifah

Sebelumnya, Ko Chihen juga menerangkan bahwa, Universitas Hsing Wu merupakan satu dari enam perguruan tinggi di Taiwan yang kedapatan mempekerjakan mahasiswa asing mereka yang berasal dari negara Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasifik sebagai buruh di sejumlah pabrik industri. Pejabat universitas memberi peringatan jika ratusan mahasiswa tersebut menolak untuk bekerja, perusahaan tidak akan mau bekerja sama dan tidak akan membantu studi mereka.

Universitas diduga akan menerima subsidi dari Kementerian Pendidikan Taiwan (MOE) jika berhasil mempekerjakan para mahasiswanya ke pabrik-pabrik. Uang tersebut kemudian dipakai sekolah untuk membayar para calo sebagai imbalan telah merekrut para pelajar tersebut. Sedang rata-rata biaya yang dikeluarkan universitas untuk membayar calo adalah sekitar 200 dolar Taiwan atau Rp95 ribu per siswa.

Menurut keterangan Ko, saat pelajar itu protes kepada universitas, mereka hanya diminta bersabar. Pihak universitas juga menyebut perusahaan akan membantu sekolahnya kalau para pelajar membantu mereka. Alasan pihak universitas, perusahaan tidak akan bekerja sama jika pelajarnya tidak kooperatif. Bahkan, manajer pabrik menyebut bahwa status mereka sama seperti pekerja migran.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Sekedar diketahui, kabar ini membuat Kementerian Pendidikan Taiwan kelabakan. Kementerian mengundang para pimpinan universitas dan memperingatkan mereka untuk tidak melanggar hukum. Kementerian Pendidikan Taiwan akan menyelidiki kasus ini.

Direktur Departemen Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Kementerian Pendidikan, Yang Yuhui, mengatakan program magang dari NSP dilarang ketika mahasiswa berada di tingkat pertama. Setelah tahun pertama, para pelajar tak boleh bekerja lebih dari 20 jam per minggu. Hal ini berdasarkan pada Undang-Undang Layanan Ketenagakerjaan.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,147