NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi damai kamisan ke-534 di Istana Negara, Kamis (12/4/2018). Aksi rutin kali ini diikuti 30 orang massa aksi yang dipimpin oleh Presideum JSKK, Sumarsih. Aksi damai ini digelar dalam rangka menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia dan Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Presidium JSKK menyampaikan setidaknya tiga tuntutan. Pertama, meminta kepada pemerintah dan presiden agar segera mengupayakan keadilan dan keseriusan negara terhadap kasus penyerangan Novel Baswedan yang telah satu tahun terus ditunda-tunda.
Baca:
- Polisi Kerahkan 167 Penyidik dan Penyelidik Tangani Kasus Novel Baswedan
- KPK Tanggapi Rencana Jokowi Panggil Tito Soal Kasus Novel
- Polisi dan Kasus Novel yang Terlunta-Lunta
- Soal TGPF untuk Kasus Novel Baswedan, Ini Kata Polri
- Dibujuk Polri Gabung ke Tim Gabungan Investigasi Kasus Novel, KPK: Enggan
“Kedua, meminta kepada Presiden Joko widodo perlu mengevaluasi kerja kepolisian atas perkara Novel Baswedan dan segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dan ketiga, Meminta kepada pemerintah dan Negara berkomitmen dan serius terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan Hak Azasi Manusia,” seru Sumarsih.
Selain menyampaikan tuntutan tersebut melalui orasi, JSKK juga menyampaikan sejumlah aspiranya melalui tulisan-tulisan dalam spanduk dan poster. Isinya antara lain: 3 tahun Jokowi Jalankan amanah reformasi, tolak dewan kerukunan nasional, tolak rekonsiliasi jika tidak ada proses hukum, damai itu indah jika pelanggaran Ham diadili, aksi damai kamisan melawan kekerasan hukum (impunitas) serta, “Bukti dan saksi masih ada, jokowi kemana”.
Presideim JSKK mengintakan melalui selebarannya, bahwa pada 11 April 2018, usia peristiwa penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan genap setahun. “Namun di usia kasus yang tak tergolong baru ini tetap nir perkembangan positif,” ujar Sumarsih.
Padahal, kata dia, seiak puluhan hari pertama pasca kejadian penyerangan temadap Novel Baswedan 11 April 2017 silam,Tim Advokasi Novel Baswedan telah merilis sejumlah temuan kejanggalan yang sayangnya tidak ditindak lanjuti secara serius oleh pihak Kepoiisian.
“Kejanggalan kejanggalan tersebut meliputi pernyataan pihak Kepoiisian yang tidak dapat menemukan sidik jari dari gelas atau cangkir yang digunakan pelaku penyerangan, di beberapa media, Kepoiisian menyatakan bahwa sidik Jari yang tertinggai di gagang sangat kecil sehingga tidak cukup untuk identifikasi pelaku,” ungkapnya.
Tim Advokasi Novel Baswedan, lanjut Sumarsih, juga menelaah bahwa dalam sejumlah kasus kriminal lain Kepoiisian lazimnya mengeluarkan bukti rekaman CCTV yang terkait dengan tindak pidana sehingga mendapatkan informasi dari masyarakat, berbeda dalam kasus kekerasan terhadap Novel Baswedan, Kepoiisian tidak mengeluarkan CCTV yang berada di rumah Novel, sekitar komplek perumahan, dan juga jalan yang dlduga dilalui oleh pelaku.
Menurut Presidium JSKK yang lain, Suciwati dan Bedjo Untung, lamanya penanganan perkara Novel ini, menunjukkan bahwa Jokowi perlu mengevaluasi kerja Kepoiisian.
“Presiden perlu membentuk TGPF lndependen untuk mempercepat penanganan perkara ini. Bahwa desakkan kami terkait pentingnya Jokowi membentuk TGPF bukan hanya untuk membuat perasaan Novel lega, namun juga untuk menunjukkan adanya keseriusan dari negara terhadap pengusutan kasus-kasus yang bernada serupa, serta meyakinkan publik dan masyarakat iuas bahwa negara berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia dan rule of law,” kata mereka.
“Presiden Jokowi, tak semestinya keseriusan negara mengupayakan keadiian bagi Novel terus ditunda-tunda dengan alasan menunggu Kepoiisian menyatakan diri menyerah alias angkat tangan,” tandasnya.
Aksi damai kamisan ke-534 selesai pukul 17.30 WIB dan massa membubarkan diri.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana