Karya Sastra Harus Mendidik Pembaca

Karya Sastra Harus Mendidik Pembaca
Karya sastra harus mendidik pembaca/Ilustrasi: Filosof dan sastrawan Prancis, Jean Paul Sartre.
Menurut hasil penelitian Carol Dweck, guru besar Universitas Stanford, orang-orang yang bermindset tetap, boleh jadi dulunya berada di ranking teratas dari sisi akademis. Mereka bukan orang bodoh dan dungu, tetapi tekun memupuk watak dan tabiat yang selalu membuatnya cemas bila melihat generasi muda menanjak naik. 

 

Oleh: Chudori Sukra

 

Karenanya, untuk menyerang anak-didiknya sendiri (demi kelanggengan status quonya) mereka masih menggunakan pola-pola di era 1980 hingga 1990-an dengan senang menyerang balik bagi anak-anak muda yang mengkritisi karya-karya mereka.

Jadi, memang tidak sedikit orang-orang tua di republik ini yang berjiwa sangat moderat, tak terkecuali sastrawan senior. Mereka bahkan membangun imej sedemikian rupa seakan-akan dapurnya bakal ada yang membongkar. Mereka merasa takut pesaingnya berpotensi mengejar dirinya, padahal sang pesaing itu adalah murid dan anak-didiknya sendiri. Dalam logika mereka yang bermindset tetap, sebuah prestasi hanya berhak bagi dirinya saja, tidak berhak bagi orang lain. Apalagi jika sang pesaing mampu melakukan hal-hal besar yang dulu dianggap mustahil dia lakukan.

Jika karya dan kreasi seorang sastrawan memang layak uji, dan mampu bersaing dalam keabadian, tentu rasa takut dan khawatir itu tak perlu ada. Tetapi, jika gelagatnya gampang dipahami, kurang memberi kontribusi bagi para pembaca, lalu apa urusannya dengan  upaya pendewasaan dan pencerdasan kehidupan bangsa ini?

Barangkali ada penulis yang berkomentar, bahwa kecerdasan bangsa bukan urusan saya, itu urusan negara. “Saya berhak untuk membuat bangsa ini bloon semuanya,” demikian tegasnya. Tetapi, setiap kaum moralis akan menolak prinsip hidup yang radikal seperti itu. Sebab, apa-apa yang telah mereka tuliskan dan apa-apa yang telah mereka gelindingkan ke tengah publik, ia akan menjelma laiknya monster Frankenstein yang akan menuntut pertanggungjawaban dari kreatornya.

Dalam kaitan itu, filosof dan sastrawan Prancis, Jean Paul Sartre, di usia senjanya pernah mengirim mesin ketik terbaru untuk Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Bagi Pram, hidup ini memang berproses. Dulu, karya-karya Sartre sangat dielu-elukan generasai muda (termasuk Indonesia) karena karya-karya filosofisnya yang cemerlang menawarkan absurditas: “Neraka ialah orang lain.”

Lalu, mengapa pula sang pencetus “orang lain sebagai neraka” itu tiba-tiba berbelok arah, memberikan bantuan kepada “wong liyan” agar ia terus berkarya bagi kemaslahatan umat? Bukankah ini suatu ironi? Lagi-lagi, perlu ditegaskan bahwa hidup ini adalah proses. Masih banyak waktu yang perlu diperbuat oleh para sastrawan kita, baik yang merasa dirinya senior, apalagi yang masih muda-muda, termasuk untuk berputar haluan sekalipun (detour). Jangan takut kesasar,” demikian dalam narasi novel Pikiran Orang Indonesia, “Sebab, tidak sama orang yang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, ketimbang mereka yang mencari-cari kesalahan walaupun sudah berhasil diraihnya.”

Nilai-nilai filosofis dari suatu karya sastra yang baik, hanya terkoneksi dengan para pembaca yang pikirannya jernih dan terbuka. Membaca ayat-ayat Alquran atau Alkitab, sebagaimana membaca esensi kebenaran yang terkandung dalam  karya sastra, hanya akan mudah ditangkap oleh pribadi-pribadi yang terbuka hati dan pikirannya dengan baik.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa jiwa-jiwa yang lapang dan bersih, akan mudah konek dengan nilai-nilai kebenaran. Sedangkan, orang yang hatinya kontra terhadap kebenaran dan kebaikan, tak lain adalah mereka yang terlampau bernafsu mementingkan urusan duniawi, mengejar target-target yang sebenarnya  hanya  “ilusi” dan “fatamorgana”. Tak pernah mengenai sasaran yang dimaksud demi kebahagiaan batinnya. Hal ini terjadi tanpa kecuali, baik di tingkat budayawan, akademisi, politisi, dunia usaha, bahkan tidak jarang di lembaga pesantren sekalipun.

Apa yang mereka cari sebenarnya? Kebahagiaan atau kesenangan sesaat? Bahwa mendapatkan popularitas, kekayaan dan kekuasaan itu membuat seseorang menjadi sukses ada benarnya. Tetapi, apakah kesuksesan itu dapat menjamin kebahagiaan hidup?

Jika seorang sastrawan sudah ajeg dalam berkarya, sudah matang dan benar dalam batin dan kalbu, senantiasa dia akan menjadi terampil dalam urusan lahiriah. Tapi, dapatkah teks-teks wacana yang dilumuri dengki dan dendam pribadi, akan menarik bagi generasi kami yang tidak urusan dengan prahara budaya atau perseteruan masa lalu?

Terkait dengan itu, kita masih ingat kata-kata yang diungkap Einsten, sang fisikawan yang serba nyeni dan eksentrik: “Ilmu pengetahuan bicara dalam batas-batas logika, tetapi imajinasi melanglang buana melintasi batasan-batasan logika dan ilmu.”

Lalu, apa sih yang banyak diperbincangkan kalangan sastrawan, terutama di zaman post industrial ini? Tak lain dan tak bukan adalah problem kesendirian dan kehampaan. Bukan hanya secara fisik tetapi lebih mendalam lagi, yakni keterasingan secara kultural dan spiritual. Fenomena ini nampak juga pada sebagian generasi muda, termasuk kalangan intelektual dan jurnalis muda yang berwawasan terbuka, seakan-akan mereka tidak lagi punya ikatan batin dengan dunia wayang maupun mitologi Jawa yang masih hidup di alam pikiran para sastrawan senior.

Kita mengenal kesendirian tokoh Faust gubahan Wolfgang Goethe sebagai seorang obsesif dan eksplorator ulung. Ketimbang Promotheus, dia lebih digadang-gadang sebagai lambang manusia progresif yang tak gentar mengambil risiko demi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan tata perdagangan baru yang menjadi demam orang-orang Barat imperialis. Tetapi, segala hal tergantung pada niatnya. Jika kita melihat konteks pengembangbiakan virus korona, tentu memiliki niat yang berbeda dengan ketulusan seorang Marie Curie (1867-1934), seorang ahli fisika dan kimia yang menemukan unsur radioaktif polonium dan radium di awal abad ke-20.

Berkat ketekunan dan pengabdiannya yang tulus demi kemanusiaan, Marie Currie akhirnya dinobatkan sebagai wanita pertama peraih nobel di bidang fisika (1903), kemudian ia pun mendapat anugerah nobel kedua kalinya di bidang kimia (1911). Kemenangan yang diraihnya, mendapat sambutan baik dari para ilmuwan dunia. Namun demikian, dengan rendah hati ia sepakat dengan pendapat filsuf dan sastrawati Prancis, Simone Weil ketika menganalisis orang-orang yang tekun menelusuri kebenaran dalam kesendirian, bahwa: “Sejauh apapun manusia mencari jalan kebenaran, pada akhirnya kebenaran itu didapatkan berkat rahmat dan kasih sayang Tuhan. Bukan semata-mata hasil jerih-payah dan kekuatan dirinya sendiri.” (*)

*Penulis: Chudori Sukra, Anggota Mufakat Budaya Indonesia, menulis esai dan cerpen di berbagai harian nasional dan media daring

 

Exit mobile version