NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis Natalius Pigai mengatakan janji kartu pra kerja yang digagas Joko Widodo (Jokowi) merupakan wujud nyata kepanikan calon presiden nomor urut 01 tersebut. Janji Jokowi ini menjadi buah bibir lantaran dianggap tak masuk akal, di mana dia berjanji akan menggaji para pemegang kartu pra kerja yang sedang mencari pekerjaan.
“Jokowi panik. Rasa kepanikan terlihat dari adanya berbagai janji-janji yang bersifat populis dengan tujuan untuk meningkatkan elektoral. Meskipun pada akhirnya hanyalah janji utopia,” katanya mengomentari janji gaji bagi pemenang kartu pra kerja tersebut, Senin (11/3/2019).
Baca juga: Jokowi Tidak Menggaji Pengangguran, Rakyat Diminta Jangan Tertipu
Menurutnya, janji kartu pra kerja ini sangat populis dan dilandasi pemikiran populisme. Praktik kebijakan populis untuk memulung elektabilitas seperti ini mirip dengan janji-janji yang pernah disampaikan presiden beraliran sosialis macam Hugo Chaves dan Nicolas Maduro.
“Kebijakan pemerintah Chavez yang mematok harga kebutuhan pokok, tepung, minyak goreng, sampai keperluan mandi, demi meringankan beban penduduk miskin. Pembangunan infrastruktur dengan menghabiskan sebagian besar anggaran negara,” Pigai mencontohkan.
Pria kelahiran Paniai ini menuturkan, program-program populis cenderung dilakukan seorang pemimpin yang ambisius dan merasa telah kehilangan kepercayaan publik. Krisis Venezuela, kaat Pigai, adalah contoh paling aktual betapa janji-janji dan program-program bernuansa sosialis berujung pada rusaknya tatanan ekonomi dan politik.
“Itulah akibat praktik sistem politik sosialisme yang salah oleh Hugo Chaves dan Nicolas Moduro telah mengakibatkan anggaran negara dalam keadaan tidak sehat karena pendapatan nasional hanya mengandalkan dari sumber utama minyak,” sebutnya.
Baca juga: Belajar Dari Revolusioner Venezuela, Hugo Chavez
Baca juga: Krisis Venezuela Akibat Campur Tangan Amerika Serikat
Baca juga: Setelah Empat Abad, Supremasi Kulit Putih Runtuh di Venezuela
Mantan Komisioner Komnas HAM ini mengatakan, janji kartu pra kerja Jokowi cenderung tak memiliki konsepsi akademik dan tidak pula melihat landasan konstitusi RI.
“Jokowi sebagai petahana seharusnya yakinkan rakyat Indonesia terkait implementasi janji-janji yang pernah diucapkan 2014, tidak semestinya mengambil kebijakan inkonsitusional, ketika melihat arus migrasi suara dari Jokowi ke Prabowo secara masif,” terangnya.
“Barangkali Jokowi tidak boleh hanya mendengarkan masukan dari para anggota kabinet tanpa nalar, pembantu Jokowi lebih cendrung bekerja mengikuti logika ketersediaan anggaran (planning flow money), tetapi logika konstitusi (policy flow contitution) meraka abaikan. Harus diukur, apakah kebijakan populis sejalan dengan konstitusi dan sistem politik yang dianut oleh negara Indonesia,” lanjut dia.
Baca juga: Jika Jokowi Teken Perpu HGU, Berarti Sosialisme Telah Lahir di Indonesia
Dia menambahkan, meskipun Indonesia bukan negara sosialis, tapi kenyataannya pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi cenderung mempraktekan sistem sosialisme melalui kebijakan dan program.
“Dalam konteks ini ada benarnya ketika kebijkan populisme Jokowi rakyat terbawah dalam alam pikir dan nafsu materialistis diukur dengan nilai uang, barang dan fisik, bahkan berwicara juga tentang materi, uang dan barang serta berlogika linier tentang materi, uang dan barang sehingga wajar jika kebijakan ini dapat diteropong melalui teori Hegel tentang materialisme, dialektika dan logika,” urai Pigai.
(eda)
Editor: Eriec Dieda