NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kapolri Jenderal Tito Karnavian kembali mengeluarkan sebuah retorika tak pantas sebagai seorang petinggi negara di hadapan masyarakat Indonesia. Pernyataan bernada instruksi itu terekam dalam sebuah video sebuah portal berita media nasional berdurasi 2 menit 9 detik.
Video ini viral dan menyebar di segala lini media sosial. Dengan nada tegas dan herois Jenderal Pol Tito menginstruksikan kepada jajarannya di seluruh daerah untuk memperkuat hubungan kerja sama dengan NU dan Muhammadiyah. “… Semua Kapolda saya wajibkan untuk membangun hubungan dengan NU dan Muhammadiyah tingkat provinsi. Semua Polres wajib membuat kegiatan-kegiatan untuk memperkuat para pengurus cabang di tingkat kabupaten dan kota. Para Kapolsek wajib untuk di tingkat kecamatan bersinergi dengan NU dan Muhammadiyah, jangan dengan yang lain. Dengan yang lain itu nomor sekian, mereka bukan pendiri negara, mau merontokkan negara malah iya…,” kata Kapolri.
Pernyataan Kapolri ini lantas menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Sekilas, instruksi Kapolri kepada seluruh jajarannya itu baik-baik saja. Pasalnya, semua orang mafhum bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Bahkan, amal nyata kedua organisasi tersebut untuk kemaslahatan bangsa, tidak perlu diragukan lagi.
- Patut Diduga, Ada Penjajah dan Komprador di Indonesia
- Menguatnya Politik Adu Domba para Komprador di Indonesia
- Para Komprador Terus Mainkan Politik Adu Domba di Tanah Air
Namun, nada yang kurang pas ketika Kapolri menyebutkan bahwa kerja sama dengan organisasi lain selain NU dan Muhammadiyah adalah nomor sekian. Yang mengejutkan, Kapolri yang menyandang titel profesor ini menyebut bahwa organisasi di luar NU dan Muhammadiyah bukan pendiri bangsa, malah hanya ingin merontokkan NKRI saja.
Sebagai seorang Kapolri, institusi yang disebut pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta Kamtimbas, kalimat yang diucapkan Tito Karnavian sangat tidak pantas. Malah, retorika semacam itu justru berpotensi memecah-belah masyarakat karena nyatanya Kapolri mempertontonkan sikap pilih kasih dan tidak melek terhadap realitas perbedaan masyarakat.
Sehingga wajar bila kemudian retorika Kapolri tersebut dinilai berbau politik belah bambu; gaya politik pecah-belah yang dimainkan penjajah Belanda di zaman penjajahan. Tujuannya satu, mengkotak-kotakkan masyarakat sehingga terpecah-belah agar mudah ditaklukkan dan dilumpuhkan.
Politik pecah-belah ini masih terus berlangsung dan berhasil di berbagai belahan dunia. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang sangat fasih memainkan politik pecah-belah semacam ini, dengan segala perangkatnya, pasca Perang Dingin (Cold War). Dalam militer, politik pecah-belah ini dikenal perang non-militer, perang asimetris (asymmetric warfare) dan perang proksi (proxy war), atau bahasa Belanda populernya divide et impera.
Perang non-militer ini setidaknya telah sukses membuat Uni Soviet runtuh. Begitu pula Timur Tengah, yang kini luluh lantak diterjang perang saudara, juga bermula dari politik pecah-belah. Di Indonesia, andai bukan karena TNI-nya yang kuat, ‘Balkanisasi’ mungkin sudah terjadi bertahun-tahun silam.
Sehingga, sebagai seorang Kapolri, retorika Tito Karnavian sangat tidak tepat karena berpotensi memecah-belah masyarakat. Kapolri tampaknya lebih suka pilih kasih untuk mengayomi masyarakat dan menciptakan Kamtibmas.
Kedua, sebagai seorang profesor, Tito Karnavian tentu kurang tepat bila mengatakan hanya NU dan Muhammadiyah yang mendirikan bangsa ini. Pernyataan profesor Tito justru jauh dari fakta sejarah dan menunjukkan dirinya lupa, untuk tak dikatakan buta, terhadap perjuangan para founding fathers dari organisasi masyarakat lainnya.
Mungkin ada baiknya bagi Tito Karnavian membuka kembali buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945 terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995), membaca kembali buku karya RM. A. B. Kusuma (Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945), atau buku Ir. Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1), sebelum berbicara dan menuding ormas lain bukan pendiri bangsa dan hendak merontokkan NKRI.
Sebab, kesimpulan subjektif Kapolri dan tuduhan tidak objektifnya adalah retorika berbahaya. Dan celakanya, retorika semacam itu keluar dari seorang publik figur dan petinggi negara. (red)
Editor: Eriec Dieda