Budaya / SeniPuisi

Kami Adalah Aib Nenek Moyang Kami

Nasirun - 1996 - Ratu Segajat (145x90) Oil Paint on Canvas | Dokumentasi Edwin's Gallery (archive.ivaa-online.org)
Nasirun – 1996 – Ratu Segajat (145×90) Oil Paint on Canvas | Dokumentasi Edwin’s Gallery (archive.ivaa-online.org)

Puisi Riswanda Ansari
Kami Adalah Aib Nenek Moyang Kami

anak anak kami
telinga lidah masa depan
kalian akan memutuskan rantai kami
membunuh opini di kepala kami

membunuh ilusi
membunuh ambisi
membunuh imajinasi

anak anak kami
jangan menceritakan generasi kami
yang tercekik
jangan menceritakan generasi kami
yang kelakar
ini adalah tragedi kami
fenomena alam, substansi yang menceritakan
kehidupan generasi kami

kami adalah aib nenek moyang kami
ini tragedi kami
oleh teriakan kami
teriakan kami lantang ketimbang tindakan kami
rambut kami panjang ketimbang akal
entah pada suatu kapan kami akan terus
bertahan hidup dalam diam

yang tidak pernah kembali
dari ladang ladang
dan juga sawah sawah
hidup kami penuh misteri

dengan mata yang cemas
kami duduk sambil berpuitis
menggerogoti gelas yang telanjang
bercumbu dengan angan angan
sambil memikirkan nasib hidup kami

“Kemudian berkata
lima tahun itu bisa jadi lima tahun
pembangunan atau juga lima tahun
pembantaian.

habislah!
setiap kegagalan kami
akan di ceritakan oleh sejarah
di nikmati oleh musuh musuh kami
kemudian kegagalan itu akan di tanggung
oleh keturunan keturunan kami

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

tak perlu bersedih
dengan sebuah kegagalan
munculnya konflik
membuka pikiran
membangkitkan integritas
dan juga wawasan

siapa pun yang hidup pasti akan mati
siapa pun yang gagal pasti akan berhasil
siapa pun yang mengorbankan dirinya
untuk kehancuran bangsa
dan negara kami
adalah seorang jendral pembangunan

sudah lama kami pelajari kehidupan
tindakan kriminal
kekerasan
struktur penindasan
sudah tidak karu karuan
kami turut serta dalam aturan mainnya
kami punya penduduk yang paling
tinggi di era moderen
kami punya banyak cerita sejarah
sopan santun kami yang utama
sampai sampai membuat keputusan

“siapa saja yang bersama kami tertangkap
melakukan tindakan yang melanggar
hak asasi manusia akan kami payungi
dan siapa saja yang bukan termasuk
dalam golongan kami
sebaiknya di hukum mati.

kami ini punya daratan yang luas
tempat bertemu tiga jalur
pegunungan yang besar
perlindungan kami sudah tertata
dalam sistem ketatanegaraan

kami memiliki sistem peradilan
yang bebas serta tidak memihak
maksud kami tidak memiliki?
tergantung pada siapa
yang kami eksekusi

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

kami punya peradilan pidana dan perdata
punya hukum dari pakar hukum
yang di jalankan secara bergilir
oleh anak anak kami
oleh keturunan keturunan kami
kami adalah aib nenek moyang kami

kami adakan pembagian kekuasaan?
kami bakar buku lalu bakar hutan
kami adakan kebebasan berpendapat?
kami penjarakan dengan alasan baik
“penjara tak selamanya buruk
kami penjarakan anda yang mungkin saja
berpendapat buruk? buruk untuk habitat keberlangsungan kehidupan kami.

kami bebaskan berorganisasi?
dengan prinsip dagelan serta pemikiran lucu
kami adalah orang berkulit tebal
dengan jiwa yang kosong
kami habiskan hari hari kami
dengan belajar sihir
seperti hidup di televisi
main catur dan tidur
adakah kami bangsa di mana Tuhan
memberkati manusia?

minyak bumi kami bisa menjadi
nyalanya api dan api raksasa
kamilah aib bagi para pendahulu kami
kamilah aib bagi para nenek moyang kami
kami biarkan minyak bumi kami mengalir
lewat jari jemari para keparat

Di miliki rakyat negeri hakikat hidup
mereka sambil bercumbu
dengan para pelacur
di tahan kami sendiri

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

tentang kebebasan
beragam kelompok dan ideologi
melarang kami membaca buku
membantu sesama kami
memberi surat kabar
minat baca kami sudah pudar
samar samar
seperti jejak jejak kabut
kami akan dianggap hina
jika kami membaca buku
bercerita tentang sejarah
apalagi jika kami menulis tentang sesuatu
yang bermanfaat

kami lebih baik tidak punya apapun
hidup kami yang tak mewarisi apapun
dan puisi-puisi masa lalu
kami lebih suka dan senang hati
membiarkan grub grub lawak
yang kemudian berhamburan dan membusuk
dalam kemunduran dan kekacauan

tentang sebuah kehidupan kami
yang sedang menemui jadi diri
yang tengah mencari tempat
berebut kerusi
dan tentang sebuah bangsa
yang tak lagi memiliki wajah
Sekian.

*Riswanda Ansari, mahasiswa Universitas Pembangunan Panca Budi, Sumatra Utara. Tinggal di Instagram: @presidentunecis

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,194