Sport

Kaleidoskop 2019: Tren Pelatih Muda Dunia Sepakbola

Julian Nagelsmann
Di usianya yang baru menginjak 29 tahun, Julian Nagelsmann sudah menjadi pelatih klub sepakbola profesional asal Jerman, Hoffenheim sebelum akhirnya membesut RB Leipzig. (Foto: AFP)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kehadiran sosok pelatih berusia relatif masih muda menjadi tren sepanjang 2019 meskipun gejala-gejalanya sudah tampak sejak sepuluh tahun silam. Seiring perjalanan waktu, setidaknya selama kurun satu dekade terakhir, pelatih sepakbola dari kalangan muda mulai menjamur lalu berubah menjadi tren yang tak dapat disangkal. Tahun 2019 boleh dibilang menjadi puncaknya dan bakal terus berlanjut pada masa-masa mendatang.

Dulu, pelatih tim sepakbola masih didominasi kalangan tua sebelum akhirnya Pep Gurdiola, Jose Mourinho dan Diego Simeone datang mendobrak dominasi tersebut. Ketiga pelatih ini boleh dibilang sebagai contoh sukses dalam karir yang mereka rintis dimulai pada usia yang relatif masih muda. Selain itu, ketiganya sampai saat ini masih aktif menjadi manajer tim di lapangan hijau.

Pelatih muda dimaksud adalah mereka yang telah menjadi manajer tim senior sebuah klub sepakbola pada usia di bawah 45 tahun. Dan Frank Rijkaard memulainya pada 2003 kala dirinya ditunjuk menjadi pelatih Barcelona senior bersama sejumlah prestasi yang cukup mengkilap. Bahkan, dirinya berhasil meninggalkan warisan emas pada sosok Lionel Messi yang sukses menjadi superstar lapangan hijau hingga saat ini.

Tak berlebihan kiranya sejak kesuksesan Frank di Barcelona merubah 90 persen pandangan petinggi-petinggi klub sepakbola untuk tak memandang sebelah mata sosok pelatih muda. Selain menjanjikan prestasi, juga bisa membuat dunia olah bola di lapangan hijau terus diminati di muka bumi. Ini soal menjaga pasar. Sebab, bagaimana pun, sepakbola adalah industri.

Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger, Marcello Lippi, Jupp Heynckes hingga Vicente del Bosque sudah tak lagi terlihat hilir mudik sisi garis luar lapangan hijau. Mereka juga tak lagi kelihatan duduk di bench didampingi sejumlah staf. Namun, mereka masih aktif menonton di kursi suporter sebuah pertandingan. Setidaknya, hal tersebut memperlihatkan kepada publik betapa kecintaan mereka terhadap sepakbola tak lekang oleh waktu dan usia. Bahkan mungkin, sampai mati pun, sepakbola tetap bersemayam di dalam lubuk hati terdalam para pelatih yang pernah berjaya baik sebagai manajer maupun pemain.

Jose Mourinho, Hans-Dieter Flick,
Carlo Ancelotti, Stefano Pioli, Maurizio Sarri, Jurgen Klopp, Antonio Conte, Lucien Favre dan Ernesto Valverde tergolong masih belum terlalu tua untuk ukuran pelatih sepakbola. Mereka sudah menunjukkan kejayaannya. Dan saat ini, Klopp boleh dibilang sosok pelatih paling fenomenal dan moncer. Lihat saja bagaimana Liverpool selama ini di bawah asuhannya.

Sejumlah pelatih berusia di bawah 50 tahun kini dominan di beberapa klub besar sepakbola, khususnya di daratan Eropa. Ini tentu menjadi tren yang sangat menarik dunia olah si kulit bundar. Belum lagi kemunculan sejumlah bintang-bintang muda, seolah mempertegas sepakbola kini ruangnya para pemuda.

Adapun sejumlah pelatih sepakbola berusia muda, atau masih di bawah 50 tahun yang menangani klub-klub besar sebut saja di antaranya Pep Guardiola, Mikel Arteta, Thomas Tuchel, Ole Gunnar Solskjaer, Paulo Fonseca, Frank Lampard, Mauricio Pochettino, Diego Simeone, Gennaro Gattuso, Zinedine Zidane hingga Julian Nagelsmann. Nama terakhir juga boleh disebut tengah fenomenal karena terhitung masih sangat muda untuk ukuran pelatih. Pria kelahiran 1987 itu terbilang cukup sukses membesut RB Leipzig di kancah Bundesliga, bahkan Eropa sehingga menjadi buah bibir.

Lebih lanjut, tren klub sepakbola menunjuk pelatih muda tampaknya telah merata tak hanya suatu klub tetapi juga tim nasional. Ambil contoh di antaranya Roberto Martinez, Lionel Scaloni, Gareth Southgate, Robert Moreno hingga Felix Sanchez Bas. Namun begitu, untuk level tim nasional, pelatih-pelatih berusia 50 tahun ke atas boleh dibilang masih mendominasi. Sebut saja Joachim Loew, Roberto Mancini, Didier Deschamps, Adenor Leonardo Bacchi alias Tite, Ronald Koeman hingga Oscar Tabarez.

Kemudian, di level pemain bermunculan sejumlah pemuda-pemuda yang menjadi bintang lapangan hijau. Meskipun dalam kurun satu dekade terakhir masih didominasi Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi untuk urusan kebintangan, tetapi juga diiringi para talenta-talenta muda yang kelak akan menggantikannya. Sebut saja di antaranya Trent Alexander-Arnold, Kylian Mbappe, Marcus Rashford, Serge Gnabry, Erling Braut Haaland, Gianluigi Donnarumma, Anssumane Fati, Bukayo Saka, Mason Mount, Gabriel Jesus, Mason Greenwood, Jadon Sancho, Nicolo Zaniolo, Vincius Junior dan masih banyak lagi lainnya.

Sampai di sini, perkembang dunia sepakbola tampaknya masih sangat cerah tahun-tahun mendatang sebagai olahraga paling populer dan digemari sejagad raya. Sebab, perkembangan industri sepakbola tampak terus berjalan di rel yang benar, sehingga peminatnya seolah tak habis-habis, malah semakin digandrungi terlepas dominasi kompetisi cenderung masih dipegang liga tertentu. Dalam hal ini, Liga Primer Inggris. Tentu, publik sepakbola masih terus menanti bangkitanya liga-liga lainnya, contoh Serie A yang dahulu sangat amat digemari hampir semua kalangan, terutama pencinta sepakbola.

Dinamika menarik lainnya ialah kebangkitan klub-klub medioker yang dalam waktu bersamaan meredupnya peforma sejumlah klub raksasa. Manchester United mungkin boleh diambil sebagai contoh selain Arsenal, AC Milan dan Inter Milan. Meredup karena tradisi juara baik di liga domestik maupun kompetisi antar klub elite Eropa sudah sekian lama tak lagi mereka rengkuh. Kondisi finansial klub seperti menjadi problem akut karena berdampak pada efektivitas pembinaan dan pembelian pemain serta penunjukkan pelatih. Pada klub tertentu, finansial memang stabil, tetapi penunjukkan pelatih dan pembelian pemain justru di situ problemnya. Tak sedikit pemain dibeli hanya untuk kepentingan bisnis belaka padahal belum tentu sesuai kebutuhan tim dan strategi permainan. Alhasil, mentalitas juara yang telah jadi tradisi sejak dahulu kala perlahan terkikis.

Berbagai cara dilakukan untuk mengembalikannya, termasuk gonta-ganti pelatih. Celakanya, di saat bersamaan tekanan suporter tak main-main, mereka menginginkan kembalinya kejayaan, bahkan dalam waktu singkat. Kondisi ini membuat pelatih ketar-ketir, di satu sisi butuh adaptasi, sisi lain tekanan suporter sungguh dahsyat. Alhasil, para petinggi klub banyak memilih suara suporter ketimbang memberikan waktu yang dibutuhkan pelatih. Di sini, pelatih baru khususnya, memang dituntut berpikir cerdas, terutama soal prioritas saat membangun tim. Dan tak berlebihan kiranya, terutama untuk klub-klub yang punya tradisi juara, menjadikan Jurgen Klopp sebagai teladan, terutama soal kepandaian dan kecerdasan pria asal Jerman dalam membangun mentalitas pemain, kolektifitas dan keseimbangan antar lini. Alhasil, ragam trofi terus jatuh ke dalam pelukan Liverpool. Dan tradisi juara klub Inggris ini akhirnya kembali.

Terlepas dari itu, meredupnya sejumlah klub raksasa Eropa bisa dipandang sebagai suatu dinamika dunia sepakbola. Upaya-upaya perbaikan yang terus dilakukan setidaknya menunjukkan bahwa olahraga ini akan semakin menarik di masa-masa mendatang. (eda)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,050