Budaya / SeniCerpen

Kakek Ingin Menikah?

Cerpen Ainun Najib

Malam itu ibu menelpon saya. Saya sangat terkejut dan betapa sedikit tak percaya mendengar cerita ibu. Meski ia adalah ibuku dan mustahil untuk berbohong. Kakek ingin menikah lagi, begitu kata ibu. Aku hanya mengurut dada.  Masak iya? Kakek ingin menikah?

Saya tak tahu berapa usia kakek saat ini. Yang saya tahu uban di kepalanya makin merambah. Kerut di wajahnya juga tak kalah bertambah. Uban yang dulu pernah dijualnya pada kami_cucu-cucunya_Rp. 10 per-lembar. Waktu itu sejumlah uang yang kami dapat cukuplah untuk memanisi tenggorokan kami dengan lima buah permen di toko sebelah. Betapa senang hati kami meski sebenarnya menggerutu menghabiskan waktu bermain hanya untuk menghitung uban yang kami dapat.

“Sudah, nanti saja mainnya,” kata kakek

“Tapi, kek. Saya mau main petak-umpet dengan teman-teman.”

“Huss, perempuan ndak boleh ikut maen petak-umpet,” katanya lagi.

Kadang-kadang saya merasa kesal juga pada kakek. Ketika kakek sudah terpejam, dan entahlah ia tidur atau tidak. Ketika saya tanya sudah tak ada jawaban. Kesempatan bagi saya untuk melompat jauh bermain dengan teman-teman.

Lalu, benarkah yang ibu katakan? Ceritanya seperti ini:

Tiga bulan lalu, kami kehilangan seseorang dalam keluarga kami. Nenek, yang sudah hampir satu tahun lamanya tergolek lemas di tempat tidur, akibat jatuh di halaman belakang, dan tak bisa apa-apa, makan disuap, ke kamar mandi dipapah, sudah tidak pernah bangun lagi pagi itu. ia habiskan sisa nafasnya pagi itu. Lantunan Al-qur’an berbaur tangis membuyarkan sinar matahari yang baru saja menyala ber-api-api. Tak ada cerah diantara wajah-wajah yang saya saksikan pagi itu. Semuanya layu berselimut kelabu. Mendung berakhir gerimis pada mata-mata mereka.

Akhirpun tak dapat pula saya tahan air mata yang merembes di pipi. Satu-satu berguguran tanpa saya sadari. Yang saya lihat air mata membanjiri  mata-mata di sekeliling. Baru dua hari yang lalu saya mendapat telepon  dari rumah. Kabarnya sakit nenek bertambah parah dan saya harus segera pulang. Sesegera saya beresi baju-baju yang berserakan di kamar kos. Saya merasa kepulangan ini akan cukup lama. Bukan bermaksud mengharapkan_dalam benak saya_kematian nenek sudah dekat. Tapi pikiran saya yang berkata begitu.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Rung tamu seketika ramai. Iring-iringan tetangga nyaris tak berhenti. Jasad yang terbujur kaku itu terus saja dihujani dengan tangis. Keluar-masuk menambah sesak di mata. Kakek menyalami satu demi satu pelayat yang hadir, betapapun ia tidak banyak bicara. Diam. Sesekali terselip sesungging senyum hambar dan ucap terima kasih kepada sanak dan orang-orang yang melayat.

“Insya Allah saya terima, ini sudah kehendak-Nya,” katanya lirih.

Sedang saya tidak henti-hentinya membacakan ayat-ayat di sisinya. Mendoakan arwah  yang tertutup kain di atasnya. Saya sedih. Saya merasa nenek saya, seperti biasa, memanjakan saya saat ditinggal ibu. Itulah sebab sampai saat ini saya merasa lebih dekat dengan nenek. Kata nenek, ibu saya sangat repot, pekerjaannya banyak sekali.

Sejak pagi, selepas subuh ibu sudah pergi.

“Eee, sudah bangun nduk. Ayo lekas mandi.” Kata nenek memapah saya ke kamar mandi. Nenek sekaligus ibu saya.

Sampai detik kepergiannya, saya belum puas untuk terus membuatnya tersenyum, melihatnya terus sehat sampai tiba nanti saya menikah dan mempunyai anak. Cicit baginya.

Kesedihan ditinggal nenek belum usai. Kakek, yang mungkin saja depresi karena kehilangan nenek, kata emak sudah ingin menikah lagi.

“Kakekmu ingin menikah lagi,” suara ibu di telepon.

“Masak iya bu? Kakek kan sudah tua.”

“Berkali-kali ibu, paman dan bibi-bibimu sudah menasehatinya, tetap saja tak pernah kakek nurut.” Saudara ibu ada empat; ibu, paman Sam, bibi Yun dan bibi Minah. Merekalah yang saat ini merawat dan mengurus kakek.

Angin bertiup kencang, dan dingin. Meski selalu begitu saat musim penghujan tiba. Ibu terus saja bercerita keanehan kakek akhir-akhir ini.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Masak si kakek itu mau menikah denganku?”

“Saya dengar Jamal ingin menikah pula?” Jamal, nama kakek saya.

“Dasar sudah tua”

“Kemaren saja dia datang ke rumah dan bertemu ibu. Ujung-ujungnya dia mengajak ibu menikah”

“Baru saja bi Sun meninggal, sudah ngebet mau menikah” Bi Sun, nama nenek  saya.

“Memang usianya sudah tua, tapi keinginannya masih saja seperti anak muda”

“Apa tidak malu dengan cucu-cucunya?”

Berbagai komentar miring merambat di mulut tetangga.

“Bikin malu saja!” desah ibu di sana.

Ingin sekali rasanya saya pulang mendengar cerita ibu. Ingin melihat dan memastikan separah itukah keadaan kakek. Sejak tujuh hari setelah kematian nenek,  belum pernah saya pulang.

“Sehabis ujian saya pulang bu,” mengakhiri percakapan saya dengan ibu.

Tetap saja saya tak dapat tidur malam itu. meski sudah kupasang headset di dua telinga saya. Yang biasa membuat saya lebih mudah untuk terpejam. Lagu-lagu manca yang saya putar rasanya benar-benar tertelan oleh cerita ibu.

Meskipun hanya berkelebat, saya pernah membayangkan betapa sedihnya nenek kalau saja mendengar hal itu. Tapi tentu saja saya lebih sedih mendengar kasak-kusuk orang mengatakan kakek sudah tidak normal, alias tidak waras. Dia dianggap gila. Selama ini pula kakek dikenal sebagai orang yang luwes, suka membantu, terlebih saat meminta bantuan membuat pagar bambu, kakeklah sang ahli.

Sangat. Aku terlampau sedih. Kakek pasti akan berbeda dari biasanya. Hampir setiap kali saya pulang_lalu berangkat, kakek selalu menyelipkan uang pesangon saat saya pamit dan mencium punggung tangannya. Tapi bukan itu yang saya maksud. Kasih sayang dan doa darinya. Mengusap ubun-ubun saya dan berdoa ”Tuhan memberkatimu.” Akankah akan pudar setelah ini? Kegelisahan itu berputar-putar dalam benak saya.

Tapi, benarkah kakek sudah gila? Saya tahu itu juga akibat kehilangan nenek. Perempuan yang berpuluh tahun bersamanya. Perempuan yang menurut kakek, sangatlah cantik, serta senyum yang luar biasa menawan hingga menarik perhatian kakek.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Kamu itu ya, seperti nenekmu, cantik dan banyak yang kepincut. He he.” Katanya sewaktu saya masih di meja SMA. “Bener toh, bu?,” katanya lagi meminta persetujuan nenek.

“Kakekmu sedang nelantur, nduk” komentar nenek tak dapat menyembunyikan bahgia di wajahnya saat kakek memujinya. Aku ikut mesem-mesem melihat tingkahnya. Memang pula kata sebagian orang, hanya saja saya diantara cucu-cucu nenek yang mendekati paling mirip dengannya.

Akhirnya saya pasrah. Minggu kedua setelah ibu saya menelpon, saya benar-benar pulang. Hal pertama yang ingin saya pastikan, keadaan kakek. Semoga baik-baik saja.

Awal saya melihat kakek, duduk saja di atas kursi teras depan. Saya tak merasakan hal yang berbeda darinya. Semuanya tetap sama. Seperti dulu. Ketika kuraih tangannya dan kucium penuh rindu.

“Tuhan memberkatimu, nduk” lagi-lagi kakek mengusap ubun-ubun saya. Dan seketika musnah pikiran keruh tentang kakek.

Dan, sore hari, saya ajak teman-teman ngumpul di rumah. Mumpung saya pulang. sudah lama sekali saya tak jumpa mereka. Berbagai hidangan yang siap mengaduk rindu dan tawa kami, sudah saya siapkan.

“Kamu itu Rin, tambah cantik saja,”  Rindu, adalah nama saya.

Yang lain juga berceletuk.

“Betul, lihat saja saya, tetap saja ngak mau gemuk.”

“Ha.. ha..” candapun berujung tawa.

“Rindu?” tiba-tiba kakek memanggil saya di tengah timbunan tawa.

“Ya, kek?” jawab saya penuh tanya. Kakek masih terdiam sebelum berkata kembali.

“Kakek ingin menikah” bisiknya di telingaku.

Saya terkejut. Dan seketika menjadi sunyi. Dan semakin sunyi setelah satu demi satu teman-teman saya minta pamit.

Kakek benar-benar ingin menikah. Gumam saya dengan hati yang hancur.**

Karangcempaka, 2016

*Penulis lahir di Giliraja 26 Januari 1996. Saat ini sedang bergiat di LPM Ats-Tsaqafah STIQ Nurul Islam.

 

Related Posts

1 of 39