NUSANTARANEWS.CO, Jakarta — Meski potensi sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sangat tinggi, namun dipastikan investasi EBT dikawasan ini tak akan menarik. Pasalnya, selain minus insentif, regulasi juga tidak mendukung.
Hal tersebut diutarakan Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia, H. Andi Rukman Karumpa di Jakarta hari ini. “EBT di KTI besar. Sayangnya, insentifnya yang lemah. Ini yang membuat swasta tidak terlalu tertarik masuk ke KTI,” ujar Andi.
Tak hanya itu, ujar dia, regulasi yang dikeluarkan kementerian terkait juga tidak bersahabat bagi investor atau IPP (independent power producer). Andi mengatakan, pihaknya menghargai keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan bagi Penyediaan Tenaga Listrik. Di sana juga ditegaskan, kewajiban PLN membeli listrik dari EBT.
Namun semangat dari Permen ini, menurut Andi, hanya bagaimana PLN bisa membeli listrik semurah mungkin dari IPP. Permen ini tidak memberikan rangsangan yang cukup bagi IPP untuk berinvestasi. Permen hanya bagaimana membeli murah. Tapi tidak dipikirkan bagaimana produksinya menjadi lebih murah lagi, sehingga marginnya menarik bagi pengusaha,” ujar Andi.
Andi mengatakan, investasi EBT di KTI mesti dibuat semenarik mungkin, sebab biaya investasi di KTI sangat mahal, sebab keterbatasan infrastruktur, Sumber Daya Manusia, beratnya medan yang dilalui ditambah lagi cost of fund yang besar serta perbankan menilai risiko di KTI sangat tinggi. “Sebab itu, investasi di KTI ini jangan disamakan dengan wilayah lain, apalagi disamakan dengan Timur Tengah yang buminya semuanya datar dan tanahnya gratis, bunga banknya cuma 3 persenan,” pungkas Andi.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan menekan tarif listrik EBT semurah mungkin. Dalam Permen ESDM nomor 12/2017 disebutkan tarif EBT sebesar 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) daerah tempat pembangkit listrik EBT dibangun. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, pihaknya berpatokan pada tarif listrik pembangkit listrik EBT di Arab Saudi yang bisa mencapai US$ 2,99 sen per kwh. Pemerintah Arab Saudi kemudian memberikan sejumlah insentif bagi pengembangan listrik EBT, di antaranya pemberian lahan gratis dan insentif pajak.
Jonan mengatakan, pemerintah bisa memberikan lahan secara gratis seperti di Arab Saudi asalkan ada pelaku industri yang bisa memberikan tarif listrik US$ 1,99 per kwh. Faktanya, belum ada satu pun investor yang mengajukan tarif EBT seperti di Arab Saudi itu. “Ini menunjukan bahwa tawaran pemerintah belum menarik. Pak Menteri harus cari formula lain. IPP yang paham kebutuhannya apa,” pungkas Andi.
Andi mengatakan, kebutuhan listrik di KTI sangat tinggi, utamanya dunia usaha. Meningkatnya kebutuhan listrik tersebut sebagai akibat dari keseriusan pemerintah pusat membuka isolasi daerah-daerah tertutup seperti di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. “Isolasi terbuka, ekonominya bergerak. Listriknya yang masalah. Kita kurang disini,” pungkas Andi.
Andi menambahkan, rendahnya insentif ini akan membuat target pemerintah untuk mencapai bauran energi 23% pada tahun 2025 menjadi meleset lagi. “Apalagi kinerja sektor EBT bergerak negatif. Padahal, porsi EBT dinegara-negara lain meningkat tajam,” pungkasnya.
Penulis: Eriec Dieda