Esai

Jurnalis yang Meraih Nobel Sastra

Jurnalis Charles Dickens. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Pinterest)
Jurnalis Charles Dickens. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Pinterest)

Jurnalis yang Meraih Nobel Sastra

Oleh: Indah Noviariesta, Aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)

Krisis kemanusiaan yang melanda manusia modern adalah pengamatan paling menarik dalam esai-esai Svetlana Alexievich. Ia memiliki dokumentasi yang akurat pasca peristiwa bocornya reaktor nuklir Chernobyl di Belarusia pada tahun 1986 lalu. Esai-esainya dikenal sangat menggugah imajinasi dan cita-rasa berpikir, hingga membangkitkan orang pada kepekaan dan kepedulian terhadap nasib anak-anak manusia di zaman post industrial ini.

Masih sehaluan dengan karya-karya sastra hasil gubahan wanita asal Chili, Gabriela Mistral yang sering menampilkan sisi-sisi gelap kapitalisme dari sudut pandang antropologis, hingga ia tergolong sastrawati yang sangat dihormati bangsa-bangsa Amerika Latin. Bahkan Presiden Allende pernah menawarkan kewenangan khusus kepada sastrawati ini, dengan mempersilakannya membuka konsulat kebudayaan di negeri manapun, atas biaya pemerintahan Chili.

Berbeda dengan jenis sastra absurditas yang berkembang di Eropa pasca perang dunia pertama, Alexievich mengetuk hati dan kepedulian manusia akan rasa tanggung jawabnya kepada nilai-nilai kemanusiaan, yang justru dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Salah satu penggerak hak asasi manusia yang juga pernah dianugerahi nobel tak lain adalah Winston Churchill (1953) yang pada waktu itu sangat dikenal dengan artikel-artikelnya yang sarat imajinasi di koran-koran Inggris. Di sini lagi-lagi kita dibangunkan oleh kenyataan bahwa para jurnalis dan wartawan rupanya masih sehaluan dengan karya-karya sastrawan, bahwa di abad transformasi ini, perbedaan karya sastra dengan esai hanyalah soal teknis pengungkapan saja. Kini dunia sastra pun tak terlampau membatasi diri dalam penceritaan suatu riwayat yang dikarang, tetapi sekaligus mengartikan realitas kehidupan, serta menyoroti kebudayaan dan kelembagaan, membandingkan citra dunia dengan tetap memanfaatkan simbol dan alegori.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Gugatan paling serius yang diungkap Alexievich terutama peran kaum penguasa yang dominan pasca perang dunia, khususnya setelah para penguasa Eropa melepaskan kuku-kuku tajamnya di bumi jajahan mereka di Asia-Afrika. Keserakahan kaum feodal yang mengambil keuntungan dari iklim eksploitasi manusia atas manusia lain. Ketidakadilan struktural yang masih belum diakui secara jujur oleh kaum birokrat dan penguasa, baik nasional maupun lokal. Mereka masih gemar dengan gaya hidup hedonis, cari selamat sendiri-sendiri, yang penting gue senang dan wani piro untuk menyenangkan aku, keluarga dan kroni-kroniku. Iklim kebudayaan imperialisme yang menggeser kearifan lokal hingga para penanggung jawabnya seakan lepas tangan dari ulah yang sebenarnya secara sistemik adalah ciptaan mereka sendiri.

Karya jurnalistik yang brilliant inilah yang mengakibatkan para nominator Nobel dari kalangan sastrawan dunia harus mengakui kehebatan daya imajinasi Alexievich. Para nominator tersebut tak lain adalah penulis-penulis besar abad ini, di antaranya Haruki Murakami (Jepang), John Banville (Irlandia), bahkan dua sastrawan besar Amerika Joyce Carol dan Philip Roth terpaksa harus mengakui kehebatan daya analisis dari jurnalis asal Belarusia tersebut.

“Pada akhirnya manusia modern harus menyadari bahwa semua yang tercapai oleh kekuatan otak, tidak harus semuanya boleh dilakukan sekehendak hatinya,” kata-kata dari Einstein inilah yang menyiratkan pesan keseimbangan kosmik yang banyak disuarakan Alexievich. Ada rambu-rambu tertentu demi kedamaian dan kemaslahatan hidup umat manusia di muka bumi ini. Bila rambu-rambu itu ditabrak juga, bisa terjadi chaos seperti yang terjadi dalam peristiwa bocornya reaktor nuklir Chernobyl. Karena toh bagaimanapun, sehebat-hebatnya penemuan sains dan teknologi yang diprakarsai kecerdasan otak dan intelektual manusia, tetap saja pelaku operatornya adalah manusia yang punya keterbatasan dan kekhilafan yang melingkupi dirinya.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Alexievich melihat fenomena dengan kacamata seorang jurnalis wanita, sambil menghimpun data dan fakta yang akurat, kemudian dituangkan ke dalam esai yang membangkitkan gelora emansipasi dan kesadaran rakyat Belarusia. Hampir serupa dengan cara kerja penghimpunan data dari seorang tokoh Erin Brockovich dalam film garapan Steven Soderbergh. Tak urung film yang sarat keberanian untuk menggugat perusahaan raksasa yang membuang limbah sembarangan itu menyabet beberapa piala Oscar, terutama untuk aktris wanita terbaik yang diperankan Julia Roberts.

Karena keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran, Alexievich pernah beberapa kali terancam keselamatannya hingga terpaksa harus hidup di pengasingan selama sepuluh tahun lebih (Italia, Prancis dan Jerman) sampai kemudian ia pun pulang ke Kota Minsk, Belarusia. Karya-karyanya banyak tertuang dalam koran-koran lokal, bahkan karyanya yang terkenal setelah bertahun-tahun menghimpun data korban perang dunia II (War’s Unwomenly Face) baru diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1988. Padahal karya tersebut sudah terpublikasikan secara terbatas, dan memang tak pernah diakui oleh pemerintahan lokal di negerinya sejak tahun 1985.

Dalam War’s Unwomenly Face secara eksplisit dijelaskan bahwa korban-koban perang dunia II tak lain dari kaum lemah dan tak berdaya, di antaranya para wanita dan anak-anak, yang secara struktural belum terangkat nasib hidupnya di suatu era yang dinamakan post-modern ini. Ribuan korban perang di tempat pengungsian berhasil diwawancarai, hingga kemudian didokumentasi dengan baik, layaknya pekerjaan penulis buku Pikiran Orang Indonesia yang berhasil mewawancarai para tapol yang di penjara tanpa proses pengadilan di masa Orde Baru dulu.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Saat ini, karena penguasa dan pengambil kebijakan publik — baik lokal maupun nasional — terlampau sibuk mementingkan urusan pribadinya dalam mengejar target kekuasaan, kekayaan dan popularitas, nasib ribuan tapol di negeri ini pun belum sempat direhabilitasi. Biaya politik untuk melanggengkan status quo sangat tidak sebanding dengan biaya ekonomi untuk mengangkat harkat dan martabat mereka dari keterpurukan zaman akibat perang yang dikobarkan para penguasa yang notabene diselenggarakan kaum lelaki.

Di sinilah peran dan tanggung jawab semua pihak, terutama kalangan intelektual untuk menyuarakan fenomena yang terjadi, serta pengangkatan harkat dan martabat ke taraf yang lebih memanusiawikan manusia. Bahwa kemudian Alexievich memboyong uang senilai 15 milyar dari penganugerahan nobel, hal itu adalah keniscayaan sejarah atas dedikasi dan kreativitasnya yang cemerlang.

Meskipun di masa-masa aktifnya sebagai penulis di koran-koran lokal, ia hanyalah wartawati yang penghidupannya relatif kekurangan, hingga sempat menjadi guru untuk biaya tambahan bagi keluarganya. Namun pada akhirnya Tuhan menjanjikan kesuksesan itu bagi siapapun yang berjuang dan istiqomah di jalan kebenaran dan keadilan.

Related Posts

1 of 3,052