NUSANTARANEWS.CO – Khusus untuk BPJS Kesehatan, bahwa aset BPJS Kesehatan sebenarnya berperan mendukung cash flow Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Ketika cash flow DJS mengalami defisit, biasanya aset BPJS digunakan untuk menalangi defisit DJS, hingga adanya Penyertaan Modal Negara (PMN).
Data per September 2016 ini saja DJS memiliki utang sebesar Rp2.079 miliar ke Aset BPJS Kesehatan. Utang tersebut terdiri dari Utang Beban Operasional sebesar Rp7,3 miliar dan Utang Talangan sebesar Rp2.072 miliar.
Data per 30 September ini, dari total pendatan sebesar Rp50,29 triliun, total bebannya sebesar Rp53,46 triliun, sehingga terjadi penurunan aset neto (atau defisit) sebesar Rp3,17 triliun.
Bila dijumlahkan dengan aset neto awal periode yang sebesar Rp9.06 triliun, maka total aset neto akhir periode (hingga 30 September 2016) menjadi Rp12,24 triliun. Ini artinya defisit terus terjadi di DJS.
Oleh karena itu, menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kalau aset BPJS diwajibkan minimal 30% ditaruh di SBN, maka kemungkinannya aset BPJS mengalami kesulitan membantu DJS.
“Seharusnya OJK memberikan kebebasan kepada Direksi BPJS Kesehatan untuk menginvestasikan dana aset BPJS-nya ke instrumen-instrumen yang lebih fleksibel dan optimal, tidak perlu diwajibkan sekian persen untuk SBN,” katanya Selasa (29/11/2016).
Sudah diwajibkan untuk menginvestasikan di SBN, Pasal 4 Peraturan OJK tersebut juga mewajibkan penempatan investasi SBN via reksadana. Timboel menegaskan, ini juga mengurangi ruang gerak BPJS Kesehatan untuk mengefisienkan biaya investasinya.
“Kalau penempatan investasi SBN via reksadana maka memang harus menggandeng manajer investasi, tetapi manajemen fee-nya bisa mencapai 2% per tahun. Kalau dibebaskan maka bisa via Broker, dimana broker fee-nya sekitar 0.01% per transaksi,” ujarnya.
Kendati demikian, Timboel mengakui bahwa OJK memang punya kepentingan dengan BPJS. Paling tidak OJK menetapkan iuran kepada BPJS. Untuk BPJS Kesehatan, OJK sudah mengirimkan tagihan iuran sebesar Rp1,7 miliar, yang hingga kini iuran tersebut belum dibayar. Atas belum dibayarkannya iuran tersebut, OJK sudah mengirimkan dua kali surat teguran kepada BPJS Kesehatan agar membayar iurannya ke OJK.
Ke depan, Timboel menambahkan, seharusnya OJK tidak mengikat aktivitas investasi BPJS dengan kaku, terutama untuk Aset BPJS Kesehatan agar pengelolaan investasinya lebih fleksibel dan optimal. Demikian juga dengan iuran, seharusnya BPJS Kesehatan dikecualikan.
“Terkait dengan pengelolaan aset BPJS Kesehatan, direksi juga dituntut harus lebih maksimal dalam melakukan investasi sehingga imbal hasilnya bisa lebih besar,” ungkapnya. (Deni)