NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kendati presidential threshold sebesar 20 persen telah disahkan dalam rapat paripurna oleh DPR, namun dukungan penolakan terhadap sistem ambang batas terus mengalir dari beberapa kalangan. Ini menyusul, kebijakan pemerintah tentang presidential threshold dinilai sebagai tindakan yang telah melanggar konstitusi.
Bahkan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie menyebut hasil rapat paripurna tentang ambang batas 20 persen merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Dikatakan demikian, karena semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kata Gugun semuanya bersifat final dan mengikat.
“Putusan MK itu bersifat final and binding, final dan mengikat,” ujar Gugun (21/7) saat dihubungi melalui pesan singkat.
Dengan demikian, pengesahan RUU Pemilu yang di dalamnya termasuk pembahasan presidential threshold sebesar 20-25 persen jelas-jelas menabrak putusan konstitusi. Gugun menegaskan bahwa siapapun yang tidak patuh pada putusan MK, maka mereka disebut sebagai pembangkang konstitusi.
“Lembaga negara manapun yang tidak menjalankan putusan MK, maka itu bisa dianggap sebagai constitutional disobedience atau pembangkangan konstitusi. Apalagi yang tidak tunduk pada putusan MK ini adalah DPR, wakil rakyat yang punya kewenangan legislasi,” sambungnya.
Dalam hal ini untuk menghentikan kejahatan para pembangkang konstitusi yang dilakukan berjamaah, menurut Gugun adalah dengan mengajukan RUU Pemilu ke MK untuk dijudicial reviewkan.
“Satu satunya upaya hukum adalah judicial review ke MK,” ungkapnya.
Judicial review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pewarta/Editor: Romandhon