SEBANYAK 23.000 delegasi negara di dunia akan bertandang ke Indonesia. Pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia (World Bank) digelar pada tanggal 8 – 14 Oktober 2018 di Bali. Luhut Binsar Pandjaitan, selaku panitia nasional memastikan acara tersebut aman dari gempa. Ia menyebut acara ini sebagai ajang mencari bantuan internasional serta bertukar pengalaman soal mitigasi bencana.
Senada dengan Luhut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berharap penanganan bencana gempa akan dibahas dalam pertemuan tersebut. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong berencana memanfaatkan pertemuan tahunan IMF di Bali untuk membahas pembangunan infrastruktur tahan bencana alam.
Indonesia begitu bangga menjadi tuan rumah pertemuan kelas dunia. Menganggap pertemuan ini banyak menguntungkan. Diantaranya sebagai ajang unjuk gigi di hadapan delegasi di seluruh dunia. Berharap mampu mendongkrak sektor pariwisata di Bali.
Sebab, gelontoran miliran hingga triliunan telah dikeluarkan demi penyelenggaraan acara ini. Sangat disayangkan bila Indonesia tak mengambil kesempatan berharga ini untuk promosi diri. Pertanyaannya, seberapa besarkah keuntungan yang didapat Indonesia?
Indonesia memiliki lima tema yang akan diangkat dalam pertemuan itu. Pertama, penguatan International Monetary System (IMS) untuk tercipta sinkronisasi kebijakan normalisasi kebijakan moneter yang ditempuh negara maju dan respons yang dilakukan negara berkembang. Kedua, ekonomi digital. Ketiga, pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan peran serta pihak swasta untuk mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Keempat, penguatan aspek ekonomi dan penguatan syariah. Kelima, isu-isu terkait sektor fiskal, yaitu urbanisasi, ekonomi digital, human capital, manajemen risiko bencana, perubahan iklim, dan pembiayaan infrastruktur.
Dalam pertemuan itu, Indonesia berencana menawarkan 79 proyek strategis. Pemerintah akan menawarkan kesempatan investasi sebesar 42,2 miliar dolar AS dengan nilai proyek sekitar 80 miliar dolar AS. Jumlah proyek yang ditawarkan sebanyak 79 proyek dari 21 BUMN. Diantaranya PLN, Jasa Marga, tiga proyek kereta layang (elevated) atau LRT, dua proyek bandara dan satu proyek pelabuhan.
Hal ini tak sebanding dengan destinasi pariwisata yang katanya mampu meraup miliran rupiah dari pertemuan itu. Pasalnya, justru yang akan diuntungkan dari pertemuan ini adalah para tamu delegasi negara. Bila kran investasi dibuka selebar-lebarnya, sama dengan merelakan swasta asing berperan lebih. Kembali menguasai infrastruktur strategis di Indonesia. Misalnya, bandara, pelabuhan, dan lainnya.
Sepak terjang investasi asing di Indonesia tak banyak menguntungkan negeri ini. Pembangunan infrastruktur tak berdampak positif bagi rakyat Indonesia. Infrastruktur yang bersumber dari pembiayaan investasi dari asing justru menjerat Indonesia.
Nilai utang membumbung tinggi. Ditambah, proyek infrastruktur yang dibangun seakan tak diminati masyarakat. Selain mahal, masyarakat menilai kesejahteraan ekonomi tak dirasakan meski sejumlah proyek telah diresmikan.
Kehadiran IMF dan Bank Dunia dalam pertemuan tahunan tentu memiliki tujuan tertentu. Tujuan itu tak jauh dari hakikat keberadaan lembaga tersebut. Tanggung jawab utama IMF adalah memberikan pinjaman kepada negara-negara anggota yang sedang mengalami atau berpotensi mengalami masalah neraca pembayaran.
Bantuan keuangan ini membantu negara-negara anggota dalam upaya membangun kembali cadangan internasional mereka, menstabilkan mata uang mereka, melanjutkan pembayaran untuk impor, dan memulihkan kondisi guna pertumbuhan ekonomi yang kuat, sambil mengupayakan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi penyebab masalah-masalah tersebut. Bantuan ini bisa berupa investasi dan pinjaman.
Bicara untung rugi, kehadiran IMF–World Bank lebih diuntungkan daripada Indonesia. Sebab, penopang ekonomi sebuah negara tak hanya sektor pariwisata. Yang lebih utama, sistem ekonomi yang diterapkan. Seberapa kuat sistem ekonomi negara tersebut mendominasi atau bahkan didominasi kepentingan global
Imperialisme menjadi sifat dasar kapitalisme. Sesuai sifat aslinya, ia tak akan berdiam diri bila ada negara merelakan aset–aset strategis sebagai tawaran investasi. Jadi, harusnya Indonesia mawas diri. Bukan malah membuka diri dengan proyek liberalisasi ekonomi yang telah mencengkeram negeri ini. Perlu solusi fundamental untuk melepaskan diri dari penjajahan kapitalisme global.
Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban