ArtikelEkonomi

Jual BUMN Cuma-Cuma, Pemerintah Miskin Kedaulatan

NUSANTARANEWS.CO – Tiba sudah Oktober 2017, dimana pemerintahan yang dipimpin oleh Joko Widodo memasuki tahun ke-3. Seiring makin tua umur pemerintahan, justru paradoks dan ironi yang lebih besar terjadi. Gaduh dari awal pemerintahan tampaknya tak jua surut hingga sekarang. Sementara tahun 2018 sudah di depan mata.

Sebagaimana Presiden Jokowi sampaikan, tahun 2018 sudah memasuki tahun politik. Artinya pernyataan ini bisa dimaknai bahwa kerja pemerintah akan lebih banyak dalam urusan politik dibanding urusan ekonomi yang merosot, daya beli yang terjun bebas, kemampuan keuangan rakyat yang semakin tertekan dan berbagai macam peristiwa hukum-politik yang membuat rasa keadilan masyarakat terganggu.

Oktober 2017 pun menjadi bulan penuh beban bagi negara. Penuh sarat beban ekonomi bagi pemerintah. Ada hutang negara jatuh tempo dan cukup besar untuk dibayar. Ada juga hutang BUMN dan tentu hutang swasta juga jatuh tempo bersamaan bulan Oktober ini. Semua itu menjadi beban total kepada negara. Karena kegagalan swasta juga akan berdampak secara ekonomi pada bangsa dan negara.

Hal, yang jadi fokus perhatian adalah, sejauh mana kesiapan Pemerintah, kesiapan BUMN dan kesiapan swasta dalam menjawab kewajiban tersebut? Tentu kita berharap swasta siap, BUMN siap dan Pemerintah pun juga siap.

Mencermati apa yang terjadi saat ini, beredarnya surat Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN dan Menteri ESDM terkait hutang PLN, dan gencarnya pemerintah menyampaikan niatnya menjual BUMN, anak usaha BUMN dan aset BUMN adalah bentuk nyata bahwa Pemerintah sedang tidak siap untuk menghadapi beban berat keuangan yang sedang menerjang jantung keuangan negara.

Baca Juga:  Pj Bupati Pamekasan Salurkan Beras Murah di Kecamatan Waru untuk Stabilitas Harga

Presiden Jokowi, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Menteri Keuangan tampak buntu dalam strategi dan langkah taktis dalam mengelola negara. Pemerintah tampak tak mampu menciptakan pemasukan negara, sehingga memilih jalan terakhir menjual aset negara.

Ini pekerjaan paling mudah memang dan tidak perlu menggunakan pikiran. Menjual itu pekerjaan mudah, gampang dan cepat. Terlebih bagi pemerintah yang miskin kebangsaan dan miskin konsep kedaulatan. Maka, menjual aset itu tentu tidak masalah. Bila bicara tentang konsep kebangsaan dan kedaulatan, menjual aset sama halnya akan memiskinkan kita sebagai bangsa.

Era Merugi BUMN

Bicara tentang konsep kebangsaan, maka Bangsa akan besar jika BUMN-nya memiliki banyak aset dan harta kekayaan. Disitu BUMN akan kontributif dalam perekonomian karena akan mampu bersaing secara secara global. Dan tentunya BUMN tidak hanya menjadi jagoan kandang.

Salah satu BUMN yang ekpansi keluar adalah Pertamina, ini patut didukung. Tapi sayangnya, kebijakan pemerintah terhadap Pertamina justru melemahkan Pertamina dan menurunkan daya saing globalnya. Ujungnya, kerugian di depan mata, bukan keuntungan. Jadi tidak heran mengapa sekarang BUMN memasuki era merugi, itu akibat kebijakan Pemerintah.

Dalam hal ini, mengapa memiliki aset menjadi sangat penting dalam konsep kedaulatan? Kita jangan mudah melupakan peristiwa Mei tahun 2016 lalu, ketika pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel di Nias Sumatera Utara yaitu APR Energi yang memadamkan pembangkitnya karena PLN tidak mampu bayar kewajibannya kepada APR Energi. Lagi-lagi korbannya adalah rakyat. Inikah yang kita inginkan?

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Tentu bahaya yang sama akan terjadi, bila kemudian aset-aset PLN seperti Pembangkit kemudian dijual untuk memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo dan beban keuangan akibat proyek Listrik 35 Ribu MW yang tidak menghitung skala prioritas dan skala kebutuhan. Resiko pemadaman, bisa muncul kapan saja ketika PLN tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena Pembangkit dibangun bukan milik PLN, dan yang milik PLN mau dijual. Haruskah kita korbankan kedaulatan untuk sebuah mimpi berlebih dari pemerintah tentang infrastruktur?

Hal yang sama tentu akan menimpa BUMN lain seperti Pertamina, Jasa Marga, BUMN Karya dan lain sebagainya jika diperintahkan menjual asetnya. Lantas untuk apa kita selama ini membangun jika harus dijual? Lantas untuk apa ada pemerintah yang sekarang jika hanya mampu menjual yang sudah dibangun oleh pemerintah amsa lalu?

Ironisnya, pemerintah ini bahkan gencar menuding masa lalu tidak melakukan apa-apa dalam infrastruktir. Tapi faktanya, sekarang yang mau dijual itu adalah infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah masa lalu.

Logika Menyimpang Pemerintah

Pemahaman yang salah sedang berkembang liar di tengah jantung pemerintahan ini. Tentu ini tidak boleh dibiarkan dan harus dikoreksi. Untuk apa kita membangun ini itu jika ternyata bukan milik kita? Untuk apa jalan tol dibangun jika masyrakatnya ternyata tak menikmati dan tidak mampu bayar tol tersebut?

Baca Juga:  Pengangguran Terbuka di Sumenep Merosot, Kepemimpinan Bupati Fauzi Wongsojudo Berbuah Sukses

Bukankah kewajiban negara menyediakan jalan dan infrastruktur untuk kebutuhan rakyat? Mengapa sekarang kewajiban itu dipindahkan ke swasta sehingga swasta bisa menguras ekonomi rakyat dalam bentuk retribusi yang dilegalkan oleh negara? Pemerintah tidak boleh lari dari tanggung jawab menyediakan infrastruktur yang bisa dinikmati rakyat secara gratis.

Pemerintah tidak boleh mengandalkan swasta menyediakan infrastruktutr untuk kebutuhan publik karena rakyat bayar pajak. Janganlah rakyat yang sudah bayar pajak masih harus dipunguti retribusi untuk melintas di jalan yang dibayar dengan pajak rakyat. Ini logika yang menyimpang dari pemerintah ini. Maka harus kembali ke konsep kedaulatan yang benar.

Terakhir sebagai penutup artikel ini, mari kita berdoa agar pemerintah ini tidak semakin jauh sesat di jalan lurus. Kembalilah kejalan Trisakti Bung Karno yang sempat selalu disampaikan oleh Jokowi saat pilres 2014 lalu. Menolak utang luar negeri dan berbagi macam janji manis. Kembali saja kesitu, kembali ke janji itu, maka bangsa ini akan baik. Kita sudah terlalu jauh menyimpang dari janji politik yang berujung pada kekacauan seperti sekarang.

Kembali saja ke konsep kedaulatan dan konsep kebangsaan, agar bangsa ini kuat dan berjalan ke arah yang benar sesuai cita-cita kemerdekaan bangsa. Yakni memakmurkan rakyat, bangsa dan negara. Bukan memakmurkan kaum pengusaha dan kaum kapitalis semata.

*Ferdinand Hutahaean, Penulis Merupakan Aktivis Rumah Amanah Rakyat.

Related Posts

1 of 17