NUSANTARANEWS.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dielu-elukan secabagai pencatat rapor terbaik di penguhujung tahun 2016. Pasalnya, Jokowi ditetapkan sebagai pemimpin terbaik atau paling unggul diantara para pemimpin Asia-Australia pada tahun 2016 versi Bloomberg.
Kantor Berita Antara pada Sabtu (31/12/2016) menulis bahwa, Presiden Jokowi merupakan satu-satunya pemimpin negara yang memiliki performa positif dalam seluruh aspek yang dinilai, yaitu menaikkan kekuatan nilai tukar (2,41 %), menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif (5,02 % skala tahun ke tahun) dan memiliki tingkat penerimaan publik yang tinggi (69 %).
Bloomberg mengeluarkan penghargaan tersebut tentu dengan kriteria-kriteria tertentu. Tentu saja tidak semua kriteria yang dijadikan tolok ukur itu disambut baik oleh semua pihak. Seperti yang disampaikan oleh seorang pengamat Canny Watae dalam ulasannya: “Tahun baru, lelucon baru”, cukup menarik perhatian.
Sebagaimana pembaca pada umumnya, ketika dapat kabar bahwa Bloomberg menempatkan Presiden Jokowi sebagai pemimpin terbaik di kawasan Asia Pasifik, tentu pembaca akan mencari kebenarannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Canny Watae. “Sehari dua hari ini, saya membaca kabar di medsos bahwa Jokowi dinobatkan menjadi pemimpin kawasan Asia Pasifik terbaik untuk tahun 2016. Benarkah?” tulis Canny membuka ulasannya yang diterima nusantaranews.co, Minggu (1/1/2017).
“Saya buka situs Bloomberg, media yang dikatakan para penyebar kabar sebagai sumber informasi. Lalu saya googling judul pemberitaan yang terkait. Hasilnya? Ternyata, sama dan senada dengan para pekabar medsos, sejumlah situs berbahasa Indonesia (termasuk dari sebuah media Nasional yang sudah tidak saya baca lagi) menulis bunyi serupa: Terbaik,” sambung Channy.
Menurut Channy, ada semacam koor satu irama bahwa “Bloomberg menobatkan Jokowi” sebagai “yang terbaik” tahun 2016 di kawasan Asia Pasifik.
Padahal, lanjut dia, sumber informasi awal, yaitu Bloomberg, bukan berbicara soal siapa yang “Terbaik” dalam artikel yang di-publish dalam Bahasa Inggris itu. Judulnya saja berbunyi: “Who’s Had the Worst Year?”. Dalam bahasa kita sehari-hari artinya adalah: Siapakah yang mengalami tahun terburuk kali ini? Judul bernada “sial” ini diperkuat dengan anak kalimat “How Asian Leaders Fared in 2016” yang berarti “Gambaran nasib para pemimpin Asia tahun 2016”. Pula, pada bagian kickers (kaki judul) editor Bloomberg mencantumkan: “And some of the headaches they face in 2017”, alias: “Dan sejumlah ‘sakit kepala’ yang dihadapi tahun 2017”.
“Jadi, sama sekali tidak ada nobat-nobatan bersubyek “Terbaik” pada artikel itu. Atau, sebagai hadiah hiburan belaka, dapat saja dikatakan “Siapa yang Terbaik di antara yang Terburuk,” ujar Channy.
“Nampaknya, dalam amatan saya, terjadi semacam pembelokan makna yang dilakukan para pekabar medsos, dan sejumlah media (baik yang media berbadan hukum maupun “media” garapan personal),” sambung dia.
Khusus bagi para pekabar personal, kata Channy, kelihatan sekali bagai mendapat setitik air di tengah kegersangan catatan pemenuhan janji-janji kampanye Joko Widodo. “Di tengah kabar pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang mulai menjauh dari harapan, Tol Laut yang mulai kehilangan semangat, Harga BBM di Papua yang ternyata masih belum sama sepenuhnya dengan di kawasan barat, nilai tukar Rupiah yang masih berkutat di level 13 ribuan, Kartu Ajaib yang masih jauh dari keajaiban, dll, dll. Dan artikel Bloomberg pun jadi pelipur lara,” kata Channy.
Agar lebih fair, Channy merekomendasikan, mari lihat indikator yang digunakan Bloomberg (dalam rangka membandingkan para pemimpin Asia-Pasifik, bukan dalam rangka menunjukkan adanya perubahan yang dilakukan pemimpin bersangkutan di negaranya masing-masing):
1. Rupiah menguat 2,41℅.
Sekilas, ini tampak sebagai indikator “Positif”. Menjadi makin bercitra positif saat dibandingkan dengan mata uang beberapa negara pembanding yang mengalami penurunan. Namun, penguatan 2,41℅ itu belum bisa menutupi penurunan nilai tukar Rupiah (terhadap Dollar AS) yang terjadi sejak Joko Widodo menjadi presiden. Saat ia dilantik, Rupiah berada pada level 12.100 per Dollar. Saat ini, pertanggal 30 Desember 2016, Rupiah berada dievel 13.475. Artinya, Rupiah mengalami depresiasi (penurunan) lebih dari 10℅. Penguatan 2,41℅ di atas masih terhitung “tekor”. Pula, data 2,41℅ itu rancu karena hanya mencakup jendela data Juli sampai Oktober 2016. Sementara data nilai tukar negara pembanding lainnya seperti China, Jepang, dan Korea mencakup jendela data yang lebih lebar. China mencakup keseluruhan tahun (Jan-Des), Korea Januari hingga November, Jepang Januari hingga Oktober. Jadi, pembandingan data menjadi sangat rancu. Mengapa untuk Rupiah hanya mencakup Juli-Oktober? Sekedar info, Rupiah sempat menyentuh nilai tukar 12.900-an (nilai terkuatnya selama 2016) pada awal Oktober). Mengapa hanya pada jendela waktu singkat dan pada saat ada strong point seperti itu? Mungkin jawabannya ada pada Saiful Mujani Research & Consulting yang menjadi sumber Bloomberg.
2. Pertumbuhan Ekonomi 5,02℅.
Ini berarti pertumbuhan datar datar saja karena berkisar pada angka pertumbuhan yang sama dengan tahun sebelumnya. Angka ini jika dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan rezim sebelumnya, yaitu rezim SBY, masih belum ada apa-apanya. SBY pernah membawa Indonesia ke angka pertumbuhan 6℅.
3. Approval Rating 69℅.
Silahkan dinikmati. Dengan sumber SMRC, saya rasa ini merupakan hadiah hiburan bagi kita semua.
Sebagai catatan: angka 69℅ bukanlah yang terbaik. Ada Presiden Filipina dan Presiden India yang memiliki approval di atas 80℅.
“So… Benarkah Jokowi pemimpin Terbaik versi Bloomberg? Saya rasa… Itu adalah lelucon. Lelucon tahun baru kita..,” tutup Channy ringan. (red-02)