NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kritikus Natalius Pigai menyebut Jokowi berbekal banyak beban di debat capres (calon presiden) edisi kedua yang digelar pada 17 Februari 2019. Pasalnya, debat kali ini mengangkat tema soal energi, pangan dan infrastruktur.
Meski demikian, Pigai mengatakan di debat kedua akan menjadi momentum penting Jokowi meyakinkan kepada masyarakat Indonesia bahwa janji-janji yang pernah diucapkan telah dilaksanakan selama 4 tahun terakhir. Khususnya janji-janji penting terkait pembangunan listrik 35 ribu MW, komitmen tidak impor pangan dan membuka lahan, serta sekelumit problematika tentang Infrastruktur.
“Rakyat sebenarnya mengharapkan Pak Joko Widodo harus sampaikan seberapa jauh realisasi janji pengembangan listrik 35 ribu MW, tarif dasar listrik yang tinggi dan mencekik leher rakyat khususnya emak-emak di rumah tangga yang tiap bulan emak-emak menjerit,” kata Pigai, Jakarta, Minggu (17/2/2019).
“Demikian pula pembangunan instrastruktur yang terbengkalai, membebani rakyat dan membebani anggaran negara karena dibangun dengan utang luar negeri. Contoh nyata terkait pembangunan LRT di Palembang yang dibangun dengan nilai 10 T melalui utang luar negeri,” sambung dia.
Setelah selesai, lanjut Pigai, saat ini ternyata pendapatan dari LRT Perbulan hanya 1 miliar, sedangkan biaya operasional tiap bulan mencapai 10 miliar.
“Jadi mulai saat ini bukannya untung tetapi justru pemerintah subsidi ke pihak LRT Rp 9 miliar. Apalagi subsidinya membebani APBD Sumsel yang hanya Rp 10 triliun. Dilihat dari asas utilitas maka pembangunan infrastruktur yang dibangun oleh Joko Widodo baik jalan tol maupun LRT dan MRT bersifat berbayar sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat kecil, sehingga lebih cenderung demi kepentingan sekelompok oligarki ekonomi,” papar dia.
Menurut Pigai, persoalan paling serius dan krusial yang gagal dari Jokowi adalah soal pangan. Pada tahun 2014, janji Jokowi untuk tidak nyatanya hanya manis di bibir saja.
“Pada tahun 2014, janji Joko Widodo untuk tidak akan impor beras, jagung, kedelai, gula dan garam tetapi ternyata berbohong dan impor lebih menguntungkan negara lain atau petani dari negara lain dibandingkan petani sendiri,” ungkapnya.
Tokoh Papua ini menegaskan, pengakuan Jokowi pada debat pertama bahwa dirinya sebagai pengambil keputusan atas impor adalah contoh nyata eks walikota Solo itu kejam kepada rakyat Indonesia.
“Soal pangan Joko Widodo juga belum punya prospek keberlanjutan pangan pada masa yang akan datang, apalagi belum terlaksananya janji untuk membuka 5 juta Ha tanah di Luar Jawa , ternyata juga adalah bohong,” tegasnya.
Apalagi saat ini, kata Pigai, ancaman serius dengan adanya penyusutan lahan di pulau Jawa dari 7 juta (50%) Ha lahan pangan dari 15 juta Ha di Indonesia tiap tahun mengalami penyusutan sebesar 200 Ribu Ha. Akibatnya, tahun 2018 FAO memberi nilai Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki indek keberlanjutan pangan terburuk (food Sustainability indeks).
“Oleh karena itu malam ini jangan berharap banyak kepada Joko Widodo. Rakyat Indonesia justru menaruh perhatian kepada Prabowo Subianto untuk memastikan adanya jaminan komitmen kuat untuk memperbaiki terpenuhinya kebutuhan atas pangan, energi dan Infrastuktur serta melestarikan lingkungan dan menjaga ekosistem dari ancaman perubahan iklim (climate change),” urainya.
(eda/gdn)
Editor: Gendon Wibisono