Jokowi, Bantuan Langsung Lempar dan Budaya Kemiskinan

Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle. Foto: Dok. Istimewa/ NNCart

Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle. Foto: Dok. Istimewa/ NNCart

NUSANTARANEWS.CO – Jokowi sudah diperingatkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menghentikan kebiasaannya melempar-lemparkan hadiah dari mobil dan memberi uang kepada orang miskin, tukang becak dlsb. saat melakukan kunjungan kerja. Sikap Bawaslu ini dapat dimaknai sebagai peringatan bahwa tindakan Jokowi itu dapat dikatagorikan berbau “money politik”, yakni mempengaruhi rakyat melalui pemberian sesuatu. Pemaknaan ini dapat dilakukan karena, meskipun saat ini belum masa kampanye, semua pihak tahu bahwa tahun ini adalah tahun politik.

Pada tahun 2009, sebelum pemilu, Megawati Soekarnoputri mengkritik keras Bantuan Langsung Tunai (BLT) rezim SBY, yang dianggap Mega sebagai penghinaan terhadap rakyat miskin dan cenderung menciptakan mental pengemis dikalangan rakyat miskin. Kali ini, ketika Megawati diam saja atas bantuan langsung lempar (BLL) ala Jokowi, adiknya Rachmawati Soekarnoputri melakukan kritik pedas. Rachma mengatakan Soekarno, ayahnya, Sang Proklamator, tidak pernah melakukan hal hina seperti itu. Cara melempar-lempar bantuan seperti yang dilakukan Jokowi bersifat menghina rakyat. Dan Soekarno, selalu berupaya melepaskan jeratan kemiskin rakyat melalui upaya upaya program yang terstruktur dan terukur. Hal ini disampaikan Rachma kemarin, 21 April, ketika merayakan Hari Kartini dikawasan Mampang Jakarta.

Rakyat Miskin dan Budaya Kemiskinan

Rakyat miskin di Indonesia terus bertambah. Busung lapar terjadi di Papua dan Lampung. Pengangguran terus meningkat. Ketimpangan sosial terus menajam. Pernyataan ini tentu bertentangan dengan data BPS yang berusaha terus untuk menampilkan perbaikan dan kemajuan disektor sosial dan ekonomi.

Hal ini dapat kita sepakati jika kita sungguh sungguh ingin memperbaiki nasib bangsa dengan benar- dimulai dari data. Umpamanya, ketika BPS (2017) melansir kemiskinan di Jakarta hanya sebesar 3,78%, dan terkecil di Indonesia, tak lama kemudian gubernur dki Anies Baswedan menegaskan bahwa orang miskin mencapai 30% di Jakarta. Perbedaan terjadi ketika BPS menggunakan garis kemiskinan perbulan sebesar rp. 550.000, sedangkan Anies merujuk pada angka rasional kemiskinan di bawah rp. 1000.000 (mendekati angka world bank $2 perhari). Apalagi jika kita coba merujuk pada upah minimum di Jakarta Rp 3.500.000, maka angka kemiskina lebih besar lagi.

Pengangguran juga dikatakan terendah sepanjang sejarah hanya 5,5%. Sesuatu yang tidak logik ketika kisaran pertumbuhan angkatan kerja (2017) mencapai 2,6 juta jiwa, lapangan kerja hanya mampu menyerap 1,17 juta jiwa. Bahkan, hanya 500 ribu jiwa yang diserap disektor formal dan bekerja penuh waktu (35 jam kerja/minggu).

Rakyat miskin yang semakin banyak sudah menjadi sorotan Bank Dunia yang melihat pola pertumbuhan ekonomi kita yang lebih menguntungkan segelintir lapisan masyarakat atas. Sedangkan ketimpangan yang semakin tajam telah diperlihatkan oleh riset Oxfam (Inggris) dan Megawati Institute (2017) yang memperlihatkan kecenderungan kekayaan orang kaya mencapai 10 kali pertumbuhan rata rata GDP perkapita.

Situasi kemiskinan, pengangguran dan Ketimpangan sosial ini pada akhirnya menempatkan orang orang miskin pada siklus kemiskinan yang turun temurun. Dalam situasi kemiskinan turun temurun, dan jebakan komunitas sesama miskin, berbagai ahli sepereti Oscar Lewis dan Daniel Patrick Moynihan melihat kemiskinan yang persisten dan budaya mempunyai keterkaitan.

Budaya kemiskinan dikaitkan dengan “way of life” orang orang miskin sejak kecil beradaptasi dalam kemiskinan mereka. Sehingga persoalan kemiskinan ini mempunyai dua masalah, yakni miskin itu sendiri dan budaya kemiskinan.

Dengan demikian, selain perubahan yang bersifat struktural, pendekatan mengatasi kemiskinan juga membutuhkan pensekatan kultural. Bagaimana orang orang miskin mengalami “pembebasan” dari mental kemiskinan

Bantuan Langsung Lempar dan Revolusi Mental

Aktifitas Jokowi dalam melempar lempar bantuan kepada rakyat ditepi jalan, bahkan memberikan uang, menyebar dalam berbagai video viral, yang memancing berbagai pendapat publik. Bagi pro Jokowi, hal itu dianggap positif, karena disebutkan Jokowi peduli dengan rakyat miskin. Bahkn, sebagaian pendukung Jokowi mengatakan babwa Jokowi mirip dengan Amirul Mukminin Umar Bin Khattab.

Benarkah hal itu positif? Tentu hal itu dapat kita bantah sebagai berikut: pertama, merujuk pada pimpinan partai pdip, Megawati, yang merupakan bos Jokowi, tindakan bantuan yang dilakukan secara langsung dapat menciptakan budaya pengemis. Kedua, memberikan bantuan dengan melempar lempar kurang berbudaya egaliter dan humanistik. Meskipun rakyat yang ditemui adalah tukang becak, tetap saja seorang pemimpin perlu menyerahkan secara langsung. Ketiga, dalam tahun pemilu seperti saat ini, wajar muncul kecurigaan, sebagaimana Bawaslu, bahwa kenapa uang negara digunakan untuk mencari empati langsung?

Bantahan ini akan lebih parah lagi jika mengaitkan dengan sifat Amirul Mukminin Umar Bin Khattab, di mana dalam kisah beliau menjumpai warganya yang kelaparan, beliau mengantar dan memikul sendiri bantuan ke rumah warga miskin tersebut, bahkan tanpa memberitahu dia adalah pemimpin saat itu.

Memberikan BLL tentu saja merusak mental. padahal rencana Revolusi Mental Jokowi adalah membangun kesadaran rakyat untuk menjadi pekerja keras dan menolak cara cara mudah mendapatkan sesuatu secara gratis.

Rakyat Miskin dan Pembebasan

Bawaslu dan Rachmawati Soekarnoputri sudah berada pada kritik yang benar terhadap Jokowi dalam kasus BLL ini. Sudah sepantasnya Jokowi memenuhi saran dan kritik mereka. Karena, jika semakin lama itu dibiasakan berlangsung, maka ini akan menjadi tauladan buruk yang akan mungkin diikuti oleh para kepala daerah, calon kepala daerah, (calon) anggota dpr/dprd, dlsb. Dan jika ini menjadi kebiasaan elit, akan merusak upaya kita membebaskan rakyat miskin dari kemiskinan.

Seorang presiden ataupun pemimpin adalah pembebas. Yakni membebaskan keterbelakangan rakyatnya. Membebaskan rakyatnya dari kebodohan dan kemiskinan. Dan ini hanya bisa dilakukan dengan spirit revolusioner yang menyasar agenda struktural dan kultural.
Semoga Jokowi yang awalnya menggembar gemborkan revolusi mental dapat kembali ke kittahnya.

Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle

Exit mobile version