NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Jika terbukti curangi hasil pemilihan umum, penyelenggara pemilu bisa dijebloskan ke penjara.
Isu kecurangan pemilu kini seperti tengah menjadi kecenderungan kuat di pemilihan umum 2019, khususnya di Indonesia.
Kendati tidak termasuk kejahatan internasional, tindakan curang adalah kejahatan karena memenuhi unsur pidana, bahkan kriminal. Dan proses hukum domestik sangat terbuka untuk menjebloskan para pelaku curang ke dalam jeruji besi.
“Sebagaimana pelimu di Filipina, ketika Presiden Arroyo (Gloria Macapagal-Arroyo) melakukan kecurangan pemilu namun kalah lantas dijebloskan dalam penjara sebagai pelaku kejahatan pemilu yaitu penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), dan tindakan kecurangan secara terencana, testruktur, masif dan meluas,” kata Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Ketua Tim Nasional Pemantau Pemilu Berbasis HAM, 2014, Rabu (24/4/2019).
Penyelanggara pemilu Indonesia, KPU akhir-akhir ini banyak diteriaki masyarakat telah berlaku curang. Sejumlah bukti terbuka seperti kesalahan entri data hasil pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden.
Celakanya, bukti-bukti kecurangan itu menguntungkan salah satu capres dan merugikan capres lainnya. Sampai di sini, tuduhan KPU tidak netral menjadi wacana yang terus mengemuka.
Sikap profesionalitas KPU saat ini memang tengah menghadapi ujian berat. Terutama setelah kasus munculnya kabar lembaga penyelenggara pemilu salah input data di 9 daerah.
“Pemilihan Umum tahun 2019 patut dicatat sebagai pemilu terburuk dalam sejarah Republik Indonesia. Selain inkompetensi, lemahnya kadar pengetahuan, minimnya pengalaman dan rusaknya nilai etik dan amoralitas penyelenggara pemilu,” papar Pigai.
“Pelaksaan pemilu sejatinya adalah momentum terpenting bagi sebuah negara untuk memperbaiki iklim demokrasi dan meningkatkan nilai hak asasi manusia,” katanya.
Karenanya, Pigai mengingatkan KPU bahwa independensi, egalitarian, pluralitas, objektifitas, imparsialitas, kejujuran dan keadilan merupakan deretan nilai-nilai universal yang mesti dicamkan.
Lebih jauh dia menyebutkan, sedikitnya ada 7 variabel utama terkait pemilu yang ditegaskan oleh PBB. Di antaranya hak untuk memilih, hak untuk dipilih, pelaksanaan pemilu secara jujur dan adil, politik uang, negara dalam keadaan darurat, penyalahgunaan kewenangan serta ancaman amuk massa.
“Rakyat telah memotret keenam variabel tersebut di atas dalam Pemilu 2019 dan terlukis dalam berbagai luapan kecemasan publik sehingga akuntabilitas dan kredibilitas presiden terpilih menjadi soal krusial khususnya di hadapan rakyat maupun dunia internasional,” papar Pigai.
(eda)
Editor: Eriec Dieda