NUSANTARANEWS,CO – Runtuhnya Uni Soviet pada pada dekade terakhir abad 20 dan pembubabaran Pakta Warsawa seharusnya diikuti dengan pembubaran NATO. Faktanya, hilangnya Pakta Warsawa justeru dijadikan kesempatan oleh Amerika Serikat (AS) untuk memperluas invasinya ke Eropa Timur – “mencaplok” negara-negara bekas Pakta Warsawa untuk di-NATO-kan.
Bahkan Yugoslavia sebagai negara Non-Blok pada waktu itu pun turut di Balkanisasi karena tidak ingin berada di bawah ketiak AS. Bukan itu saja, Presiden Slobodan pun dikriminalisasi sebagai penjahat kemanusiaan, dan gugur diracun. Modus yang sama pun digunakan untuk menggulingkan dan membunuh Pemimpin Libya Muammar Qaddafi yang ingin mendirikan United State of Africa yang berdaulat.
Dengan kata lain, NATO telah diuji coba efektifitasnya oleh AS dalam membantai rakyat Eropa Tenggara (Yugoslavia) dan Timur Tengah (Libya). Dan terbukti sangat efektif, apalagi tak ada negara yang mepermasalahkan.
Namun ketika AS mencoba me-NATO-kan Ukraina – AS terkena batunya. Sejak sukses melancarkan perang proxy di Eropa Timur yang kemudian dikenal dengan Revolusi Warna – langkah AS tampaknya kini harus berhenti.
Rusia tidak main-main lagi dengan langkah provokatif AS. Padamkan api sebelum menjadi besar. Rusia pun langsung mengambil tindakan preventif dengan melancarkan operasi militer khusus di Ukraina untuk melumpuhkan kekuatan militer Ukraina dan organisasi bersenjata ala teroris Zionis seperti Batalyon Azov yang memang diciptakan khusus untuk membantai dan mengusir warga etnik Rusia di Ukraina. Ingat kelompok teroris bentukan Zionis seperti Haganah, Irgun Z’vai Leumi, dan Stern Gang yang gemar mengusir dan membunuh warga Arab Palestina tanpa pandang bulu.
Lihat di Suriah, di mana Al-Qaeda dan ISIS serta jaringan terorisnya yang mendapat dukungan AS-NATO dan Barat menguasai Idlib – perang dan kekacauan tak pernah berhenti di sana. Rakyat Suriah pun menjadi korban. Anehnya kesalahan tersebut malah ditimpakan kepada Presiden Suriah Bashar al Assad yang terpilih secara demokratis – padahal jelas-jelas AS-NATO dan Barat yang melakukan agresi militer dan melancarkan proxy war di Suriah.
Demikian pula di Libya dan Irak – negara kaya minyak yang kini sumber daya alamnya secara de facto dikuasai Uncle Sam – perang dan kekacauan terus berlanjut.
Terkait operasi militer khusus Rusia di Ukraina, Jerman sebagai anggota NATO tampaknya harus mengambil langkah berani saat ini sesuai dengan janjinya setelah terjadi reunifikasi Jerman pada 3 Oktober 1990.
Jerman bersatu kembali setelah Perang Dunia II, karena kesepakatan yang dibuat oleh AS dengan Rusia pada tahun 1990 di mana Menteri Luar Negeri AS James Baker menyatakan bahwa NATO tidak akan diperluas “satu inci” ke timur melewati perbatasan Jerman yang bersatu kembali.
Ya, itulah semacam janji awal dari kelahiran Jerman yang bersatu kembali. Terutama karena keberatan Uni Soviet bahwa Jerman yang bersatu boleh tetap menjadi anggota NATO, namun tentara NATO tidak boleh ditaruh di Jerman Timur.
Namun sikap Jerman yang terkesan membiarkan pelanggaran janji AS kepada Rusia mengenai NATO setelah reunifikasi Jerman sangat ironis dan tragis.
Bayangkan bila Rusia menempatkan senjata nuklirnya di Amerika Latin dan Karibia – seperti di Kuba atau Venezuela – tentu AS tidak akan mentolerir halaman belakangnya menjadi basis senjata strategis Rusia. Dan barat pasti akan langsung mengecam Rusia sebagai aggressor. (Agus Setiawan)