NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sejak Prabowo Subianto berpidato menyinggung sebuah prediksi Indonesia akan bubar pada 2030, tak lama berselang Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan menyindir pernyataan tersebut. Jokowi mencibir pernyataan Prabowo sebagai sikap pesimisme terhadap masa depan bangsa. Jokowi kerap berpidato menyinggung soal pentingnya optimisme.
Bahkan, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Arief Poyuono mengatakan kata ‘optimisme’ telah dijadikan jargon kampanye Jokowi.
“Saya ingin luruskan, optimisme itu akan ada pada masyarakat jika 4 tahun pemerintahan Joko Widodo memberikan harapan yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan keadaan ekonomi keluarga masyarakat,” kata Arif, Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Baca juga: Meski Semacam Ramalan, Kekuatan Novel Fiksi Ghost Fleet Tak Boleh Diremehkan
Baca juga: Apakah Indonesia Masih Mampu Bertahan Hingga Tahun 2030?
Baca juga: Indonesia (Sebenarnya) Sudah Bubar
Kata ‘optimisme’, kata dia, kini sudah menjadi ‘jualan’ Jokowi untuk kepentingan kampanye Pilpres 2019. “Saya kasih contoh saja ada tidak optimisme yang jadi jualan Joko Widodo pada masyarakat. Misalnya untuk masyarakat yang menjadi stakeholders sektor usaha perkebunan sawit seperti petani plasma Sawit, pemilik perkebunan sawit, pekerja di sektor perkebunan sawit dan masyarakat di area perkebunan sawit,” katanya.
“Selama 4 tahun terakhir, harga CPO dan Tandan Buah Segar (TBS) makin turun hingga di bawah 500 dollar dari harga 1000 USD. Di akhir 2014 untuk CPO Rp 600, untuk TBS dari harga Ro 1200 per kilogram di akhir 2014,” tambah dia.
Kata Arif, mana optimisme yang diberikan Jokowi ketika keadaan ekonomi makin sulit, terutama bagi para pelaku sektor perkebunan sawit. Padahal, kata dia, komoditas sawit seperti CPO merupakan komoditas ekspor Indonesia yang paling besar menyumbangkan devisa negara.
Baca juga: Solusi Jokowi Terkait Jatuhnya Harga Sawit Dinilai Tak Cerminkan Diri Sebagai Seorang Presiden
“Nah, ketika ditanyakan tentang kebijakan apa untuk mengangkat harga komoditas sawit, malah memberikan jawaban dengan menyarankan perkebunan sawit diganti dengan menanam jengkol dan pete. Apa ini yang disebut optimisme?,” ucapnya.
“Ini bukan optismisme dari Jokowi pada masyarakat sawit Indonesia, tapi tong kosong nyaring bunyinya dan bukan solusi yang diharapkan masyarakat,” tambah dia.
“Jadi, saya jelaskan sekali lagi. Optimisme itu bukan tong kosong berbunyi nyaring tetapi looking the truth from the fact, melihat sebuah fakta dari kebenaran, bukan dari kebohongan-kebohongan,” pungkasnya.
(eda/bya)
Editor: Almeiji Santoso