Puisi

Janji Bali: Kepada Irian Bokova – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch*

JANJI BALI
Kepada Irina Bokova

Di Pulau Dewata kutemukan gerbang dunia, samudera yang berdiri gagah dengan gugusan gunung berpagar betis mengucapkan janji:

Dunia tanpa masa depan jika kebudayaan ditiadakan.

Tak ada lagi yang mampu memisahkan antara aku dan kau, walau tembok raksasa mencoba berdalih dan berkilah agar batas itu ada.

Ternyata laut kita sama, hingga Timur dan Barat bukanlah sebab, sedangkan Selatan dan Utara hanya akibat belaka.

Di Pulau Dewata ini kutemukan partitur cinta yang sudah lama tiada, orkestra bianglala yang merayakan mazmur keindahan di bumi para dewa.

Janji Bali, begitulah kita sepakat untuk menyatukan hati, membulatkan jiwa dan melukiskan semua warna. Merayakan indahnya kemanusiaan di antara dentuman bom dan lonceng kebencian di segenap sudut dunia.

Di Pulau Dewata, samudera dan gunung kugenggam dalam doa dan mantra, menjadi masjid yang mengumandangkan azan agar cinta dan agama melampaui indahnya setaman bunga.

Hari ini telah kubelah durian rindu ini dengan kapak emas, saat ribuan penari melompat dari mega ke mega. Ribuan bendera telah dikibarkan, tapi merah putih adalah mantra gula-kelapa.

Irina Bokova, dengarkan suara serak dari tenggorokan purba ini, dunia telah semakin tua untuk diajak bercanda, saat bermilyar layar kaca hanya mampu mengucap duka lara dan iklan kosmetik tanpa etika.

Kebudayaan hanya bisa melolong dalam irama poco-poco, suara gemetar stanza dan rintih rebana, sementara peradaban tinggal tulang-belulang sisa-sisa santapan serigala.

Kami terlahir sebagai putra terpilih para wangsa, dan dari urat nadiku ribuan dinasti telah melahirkan para raja dalam darah nadi ini. Kami bukan anak cucu Thanatos, dewa pecundang yang menebarkan duri kekerasan dalam daging Ibu Pertiwi.

Aku bersemayam dalam jantung Arupadatu, menjadi mata dewa di puncak stupa.

Telah kubangun ribuan candi, saat lembah Silikon di Benua Amerika masih rimba belantara. Di tangan para empu, keris dan tombak menjelma mahakarya. Di tangan para pujangga, La Galigo, Gurindam 12 dan Mantra Ajisaka telah menjadi peta jalan kebudayaan penuh makna.

Kini peta jalan peradaban itu membutuhkan kerling matamu, Irina Bokova. Juga sorot mata jutaan kaum muda di seluruh benua.

Karena itulah Janji Bali kutulis dalam puisi, lebih mantra dari mantra, bersama bunyi gong perdamaian sebagai penanda. Restorasi untuk semua denyut jantung planet bumi, daulat rimba sebagai paru-paru dunia, pendidikan keadaban yang mengembalikan jiwa manusia sebagai panglima dan daulat hukum menjadi karpet merah Dewi Yustisia peradaban Nusantara.

Kepadamu Irina Bokova, gamelan emas ini kutabuh menjadi orkestra di cakrawala. Kupersembahkan puisi Alfa-Omega kepada dunia, sebab peradaban jauh lebih mulia dibanding episode cinta Adam dan Hawa di Taman Surga. Peradaban telah menjadi panglima manakala Bahtera Nuh telah menyelamatkan jiwa dan cinta manusia dari banjir raksasa dan amuk prahara.

Kita adalah anak-cucu Nabi Ibrahim yang begitu perkasa menghancurkan nafsu bengis berhala. Kita adalah anak-cucu Nabi Daud yang menulis sejarah dengan indah dan penuh pesona.

Kebudayaan adalah daulat manusia, sebagaimana Kalam Suci telah mewartakan sejak dahulu kala. Monarki atau demokrasi, jika tidak mampu menciptakan orkestra di cakrawala, pada akhirnya hanya alat kekuasaan yang tanpa makna.

Sudah bukan saatnya kita berdebat tentang kulit dan isi, kilah dan idiologi, sebab Heroshima dan Nagasaki adalah prasasti sejarah yang bermakna dan penuh arti, betapa perang dan kebencian bukanlah solusi.

Krisis air dan pangan, darurat narkoba, politik kebudayaan yang hanya menghamba pada uang dan kekuasaan, juga kejahatan cyber yang menghancurkan nilai kemanusiaan, pada akhirnya akan menjadi sampah yang akan menyumbat dan mengotori mata air peradaban dunia.

Hamemayu Hayuning Bawana dan Tri Hita Karana sejatinya adalah denyut nadi kita juga, hingga keserakahan menelan segalanya, juga ludah pahit para empu dan pujangga.

 

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125