Opini

Jalan Panjang Demokrasi Substantif

Sesuai jadwal KPU, Pilkada Serentak 2018 bakal digelar pada 27 Juni mendatang. Ada 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan menggelar pesta demokrasi lokal tersebut.

Pilkada kali ini adalah pilkada serentak gelombang ketiga. Gelombang pertama dan kedua sudah terlaksana pada tahun 2015 dan 2017 lalu.

Dalam peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017, pasal 4 menyebutkan bahwa tahapan-tahapan pemilihan terdiri dari tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Selain itu, lampiran peraturan tersebut juga disebutkan bahwa kegiatan sosialisasi kepada masyarakat sudah harus dilaksanakan pada 14 Juni 2017. Sedangkan pembentukan PPK dan PPS sudah dimulai 12 Oktober 2017.

Pengolahan DP4 sudah dimulai dari 24 November 2017 sampai 30 Desember 2017. KPU sudah melakukan proses pemutakhiran data dan daftar pemilih pada 30 Desember 2017. Jika melihat kinerja KPU tersebut, kita patut optimis pelaksanaan Pilkada Serentak akan berjalan dengan baik dan lancar.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Pertanyannya, apakah demokrasi substantif juga menjadi target KPU sebagai pihak yang diberikan kewenangan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada?

Demokrasi Substantif

Menurut Jeff Hayness demokrasi substantif menempati ranking paling tinggi dalam praktik demokrasi dengan cara memberikan tempat kepada seluruh masyarakat dari berbagai golongan.

Dan realitas demokrasi kita, cenderung lebih fokus pada perlindungan formal-konstitusional lembaga kenegaraan. Dalam praktik pelaksanannya, perlindungan tersebut masih jauh dari harapan demokrasi substantif.

Ada beberapa faktor, penghambat terwujudnya demokrasi substantif. Paling mencolok ialah dimainkannya isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) yang mengakibatkan ketegangan sosial-politik.

Jalan panjang demokrasi substantif kerap dihiasi oleh konflik atas nama SARA. Hal ini, bertolak belakang dengan gagasan ideal para pakar ilmu politik yang menyebutkan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai demokrasi, (karena) demokrasi adalah jalan itu sendiri (there is no road to democracy, democracy is the road).

Sulitnya mencapai demokrasi substantif sebetulnya imbas dari perilaku politik yang lebih mengedepankan kepentingan dan kekuasaan semata. Termasuk menggunakan isu SARA sebagai modal untuk mencapai kekuasaan tersebut dilakukan sedemikian massifnya. Bahkan disengaja.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Isu SARA yang sensitif di perhelatan Pilkada tampaknya sudah menjadi bagian dari strategi pemenangan oleh sebagian parpol. Risiko besar yang mengintai di balik isu tersebut seperti diabaikan begitu saja para stakeholders. Padahal, jika mau jujur cara berpolitik semacam itu justru bisa berakibat fatal, mengancam eksistensi negara kebangsaan dan kebhinekaan kita.

Akibat lebih jauh lagi, demokrasi substantif yang diidealkan akan semakin sulit dicapai karena selalu tercederai. Parahnya lagi, bisa mencoreng nilai-nilai Pancasila yang sudah sejak negara ini berdiri menjadi landasan bersama dalam sepak terjang kehidupan kita. Dan Pilgub DKI Jakarta merupakan salah satu contoh paling menohok dari praktik perpolitikan yang memainkan isu SARA. Masyarkat jadi terpecah belah dan terkotak-kota. Bahkan, dampaknya sampai detik ini.

Harapan

Di sinilah peran andil masyarakat sangat diperlukan. Setidaknya, membangun kesadaran untuk melihat realitas menjadi kebutuhan masyarakat dalam menghadapi momen pemilihan umum, atau Pilkada.

Sikap saling menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi nilai toleransi politik adalah langkah paling efektif untuk menghindari konflik di tengah masyarakat.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menangi Pilpres Satu Putaran

Apalagi, Pilkada Serentak tahun 2018 diprediksi rawan konflik. Karenanya, parpol diharapkan dapat menahan diri dari praktik-praktik yang berpotensi memecah belah masyarakat.

Penulis: Riska Febrianti & Arif Bolas, aktivis PMII Cabang DIY dan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Related Posts

1 of 13