NUSANTARANEWS.CO – Jakarta Lahir Dari Kemenangan Fathahillah atas Portugis, 22 Ramadhan 933 H. Bulan Ramadhan menyimpan banyak kisah di dalamnya bagi umat muslim sepang sejarah peradaban Islam di dunia, khususnya di Nusantara. Salah satu peristiewa besar yang terjadi di bulan suci Ramadhan adalah keberhasilan Raden Fathahillah merebut Sunda Kelapa dari tangak penjajah yaitu Portugis. Keberhasilan tersebut bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 933 (H) atau pada tanggal 22 Juni tahun 1527 M.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa, 498 yang lalu panglima pasukan Cirebon Fatahillah dengan gagah berani mengusir bangsa Portugis yang menduduki wilayah Sunda Kelapa. Atas keberhasilannya, Fathahillah diberi gelar Mubina atau kemenangan yang nyata. Dalam bahasa Sansekerta, istilah ini disebut Jayakarta. Sebab itulah daerah itu kini abadi dengan nama Jakarta yang tak lain berasal dari kata Jayakarta. Sejak saat itu pula sejarah mencatat sebagai kelahiran Jakarta.
Pada dasarnya, Fathahillah yang dikenal dengan sebutan Faletehan atau disebut juga Tubagus Pasai dan dengan nama lahir Faddillah Khan memang memendam rasa benci terhadap Portogis, lantaran tanah kelahiran Fathahillah, Pasai di Aceh, pada tahun 1521 juga telah dikuasai oleh Portugis. Tatkala Pasai diduduki Portugis, Fathahillah melakukan pelayaran ke Mekkah dalam rangka menuntut ilmu. Beberapa tahun kemudian, dari Mekkah, sekitar tahun 15 25, ia berlayar ke Jepara dan akhirnya mendapat istri di sana bernama Nyai Ratu Pembayun, adik Sultan Trenggana dari Demak.
Dari Jepara, Fathahillah secara berturut-turut melakukan penaklukan demi penaklukan di daerah Banten selanjutnya Sunda Kelapa. Penaklukan ini dilakukan dengan misi menyebarkan Islam di daerah yang didudukinya. Setelah itu, Fathahillah menikah lagi dengan Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati. Melalui pernikahan tersebut, Fathahillah bersama mertuanya menyusun strategi untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Motivasi pengusiran ini didorong oleh sebuah anggapan bahwa keberadaan Portugis di Sunda Kelapa sebagai ancaman. Mengingat waktu itu, bangsa Portugis sebagai pedangan bersama bangsa lain seperti Arab, India, dan Cina mendapat izin dari Kerajaan Sunda. Atas izin yang diberikan, Portugis membangun kantor dagang di dekat pelabuhan dan sebagai imbalan, Kerajaan Sunda mendapatkan barang-barang yang dikehendakinya sebagai hadiah dari Portugis.
Pada prinsipnya, pengusiran yang dilakukan oleh Fathahillah bersama bala pasukannya bukan semata-mata karena kepentinga ekonomi maupun politik, namun lebih pada penyiaran Islam di Sunda Kelapa. Terbukti, sejak saat itu, Islam berkembang lebih pesat lagi. Apalagi ditambah dengan para pedagang dari Gujarat dan China yang ikut serta melakukan penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Bukan tanpa strategi, Sunda Kelapa bisa direbut dari tangan Portugis. Menurut catatan sejarah, Fatahillah dan Sunan Gunung Jati membuat rencana cerdas dan cerdik yang mereka sepakati bersama yaitu mengelabuhi dengan cara memancing Portugis supaya bisa bertempur di tanah Jawa. Gayung pun bersambut, dimana saat itu armada Portugis mendapat undangan khusus dari Raja Pakuan untuk hadir ke Sunda Kelapa. Tujuan Raja Pakuan adalah meminta bantuan kekuatan kepada Portugis sebab posisi Raja Pakuan sudah sangat lemah di wilayah laut pasca terjepit oleh kekuasaan Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Sampailah waktu yang diabadikan oleh sejarah bangsa nusantara, khususnya di wilayah Sunda Kelapa. Sejarah besar terbut terjadi pada 22 Juni 1527 M atau 22 Ramadhan 933 dimana armada Portugis tiba di Sunda Kelapa. Tepat saat armada Portugis berlabuh dihantamlah mereka oleh serangan bertubi-tubi dari pasukan Fathahillah dan Sunan Gunung Jati. Serangan besar tak dapat Portugis tangkis, kekalahan mesti diterima dan pilihan terbaik bagi Portugis tak lain dan tak bukan kembali pulang ke kampung halaman mereka di seberang benua.
Atas kemenangan pasukan Fathahillah ini, Sunda Kelapa pun secara resmi jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Banten-Cirebon. Selanjutnya nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta dan sejak saat itu pulalah gelar Fatahillah diberikan pada Tubagus Pasai, tepatnya saat bulan puasa hari ke-22.
Maka sebagai bangsa yang tidak sekali-kali melupakan sejarah, sepantasnya kita dapat mengambil hikmah dari satu perjuangan yang dilakukan oleh Fathahillah. Dimana ia melakukan perjuangan melawan bangsa asing tanpa lelah walaupun dalam situasi bulan puasa. (Sulaiman)