NUSANTARANEWS.CO – Kontroversi mengenai penyebutan istilah berita palsu (hoax) telah merusak kepercayaan terhadap media di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia, termasuk Indonesia. Dibandingkan media cetak dan TV, sebuah survei menemukan bahwa berita palsu lebih banyak dipercaya bersumber dari media sosial dan gerai-gerai online.
Sebuah lembaga riset dan data, Kantar, dalam sebuah surveinya terhadap 8.000 orang di Amerika Serikat, Brasil, Inggris dan Perancis menemukan bahwa surat kabar, majalah dan berita TV telah mempertahankan kepercayaan publik dalam menyajikan kabar berita dibandingkan media-media yang berbasis digital atau online.
Di Amerika Serikat, media arus utama telah melaporkan penyebaran cerita palsu secara online yang bertujuan untuk membantu Donald Trump memenangkan kursi kepresidenan tahun lalu. Sementara itu, Trump menuduh media mainstream itu sendiri memproduksi berita palsu.
Secara keseluruhan, 58 persen dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa sebagai akibat dari menyadari berita palsu, mereka kurang percaya pada berita tentang politik atau pemilihan yang bersumber dari media sosial. Untuk media mainstream, angka itu 24 persen.
Namun demikian, Kantar mengatakan bahwa upaya untuk mencap media arus utama sebagai penyebar berita palsu sebagian besar mengalami kegagalan.
Kemudian, temuan Kantar juga memamaparkan terkait dengan kepercayaan publik tentang berita yang disajikan media. Temuan menunjukkan, proporsi jauh lebih tinggi kepercayaan publik berita-berita yang bersumber dari majalah, saluran berita TV, radio dan surat kabar dibandingkan berita yang disajikan media sosial.
Lebih lanjut, Kantar melaporkan, seperti dikutip Reuters, analis mereka menunjukkan bahwa penggunaan istilah berita palsu telah meningkat dalam berita utama sekitar pemilihan presiden AS pada November 2016 lalu, dan mencapai puncaknya pada hari pertama Donald Trump duduk di kantornya di Gedung Putih Januari 2017 lalu.
Hanya saja, ada kekurangan konsesus dan kejelasan tentang definisi dan sumber berita palsu tersebut. Ditanya apa arti istilah berita palsu, 58 persen responden Kantar menjawab mereka merujuk pada cerita yang sengaja dibuat oleh organisasi berita arus utama. Dan 42 persen mereka mengatakan bahwa hal itu sekaligus menggambarkan cerita yang dikeluarkan oleh seseorang yang berpura-pura mengelola dan sebuah organisasi pemberitaan.
Dari empat negara yang disurvei, Brasil memiliki proporsi tertinggi orang yang percaya kabar palsu yang telah mempengaruhi hasil pemilihan di negara mereka, yaitu 69 persen. Di Amerika Serikat, angka itu 47 persen.
“Istilah berita palsu telah sering digunakan oleh presiden AS sehingga tak mengejutkan bahwa publik AS menyadari dampaknya,” kata survei tersebut.
Namun di Brasil, meski pemilihan nasional belum diadakan sejak tahun 2014, serangkaian skandal korupsi cenderung meningkatkan kepekaan publik terhadap berita politik.
Di Indonesia sendiri, istilah berita palsu atau yang lebih sering disebut hoax, telah menjadi pemahaman umum. Namun belakangan menjadi persoalan ketika istilah tersebut dijadikan alat untuk menuduh serta membentengi diri dari berbagai model pemberitaan yang imajiner dan cenderung negatif serta kritis. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews