Politik

Islamophobia dan Pengaruh Kebijakan Cina Dalam Dunia Islam

NusantaraNews.co, Jakarta – Riak-riak Islamophobia di Indonesia kembali mulai berombak. Dua penyabab utamanya, kata Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan, Suripto, yakni adanya anasir-anasir Orba dan pendukung Nasakom Orde Lama (Orla) di pusat pengambilan keputusan. Serta faktor Asing, Zionisme sebagai kekuatan barat dan Komunisme sebagai kekuatan timur.

Kondisi demikian, bagi Suripto, menuntut kaum muslim untuk ber-amar ma’ruf dan ber-nahi mungkar. Artinya, tidak cukup hanya dengan melakukan kebaikan-kebaikan bagi bersama, tetapi juga mesti melawan setiap kemungkaran. Penting diketahui, kata dia, soal strategi Cina dalam menyusupkan sekian kebijakannya ke dalam sendi-sendi dunia Islam.

China, kata Suripto, bersama dengan beberapa negara yang tergabung dalam Shanghai Cooperation Organisation (SCO) juga mempunyai agenda untuk memberantas yang mereka anggap sebagai ancaman Islam radikal terutama di wilayah utara yang berbatasan dengan wilayah bekas Uni Sovyet, termasuk Xinjiang /Uyghur. SCO yang semula bernama The Shanghai Five beranggotakan Cina, Rusia, Kazakhstan, Kygyztan dan Tajikistan didirikan pada 1996. Pada tahun 2001 menjadi SCO setelah masuknya anggota baru yaitu Uzbekistan, kemudian India dan Pakistan.

“Dalam hal ini kebijakan Cina dan para sekutunya dalam masalah ancaman terorisme Islam bertemu dengan kepentingan barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) yaitu memerangi radikal Islam,” ungkap Suripto di Jakarta akhir pekan lalu di depan ulama, tokoh dan aktifis Islam Tanah Abang, Ahad 12 November 2017.

Baca Juga:  Rahmawati Zainal Peroleh Suara Terbanyak Calon DPR RI Dapil Kaltara

Menurut dia, Presiden Cina Xi Jinping telah dan sedang meneruskan dan mengembangkan gagasan Deng Xiao Ping, yang bisa menyandingkan komunisme dan kapitalisme dalam sebuah negara, dengan mengembangkan OBOR atau One Belt One Road (satu rangkaian, satu jalan) yaitu mimpi besar Cina tentang Jalur Sutera modern. Cina ingin menjadi imperium baru di dunia.

“Tahun 2034 Cina ingin sejajar dengan Amerika, terutama dalam bidang ekonomi. Tahun 2049 Cina ingin menyaingi Amerika dalam bidang militer. Persis pada 2049 dalam peringatan 100 tahun berdirinya negara RRC akan diumumkan bahwa Cina adalah kekuatan hegemoni dunia yang baru,” tuturnya.

Suripto menyatakan, proyek OBOR akan melewati banyak negara, terutama di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia yang mayoritas berpenduduk umat Islam. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat ini apakah memang benar-benar untuk rakyat atau untuk kepentingan mereka, ini yang harus kita kritisi. “Uang 1 Trilyun USD disiapkan Cina untuk membangun infrastruktur dalam proyek OBOR di berbagai negara. Krisis Rohingya di Myanmar juga termasuk dampak dari rencana pembangunan pelabuhan besar Cina di wilayah Segitiga Emas,” ungkap dia.

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Perhitungan Perolehan Suara Pemilu 2024

Di Malaysia, lanjut Suripto, akan dibangun sebuah kota baru atau bandar baru sebagai ibukota baru Cina di luar Cina setelah Beijing, dengan dana Rp 510 Trilyun. Di situ akan dibangun kota berlapis di atas dan di bawah tanah. Di Beijing juga sudah dibangun kota di bawah tanah untuk menghindari serangan dari yang mereka sebut sebagai kaum imperialis. “Bandingkan dengan Meikarta yang dibangun di Cikarang ternyata juga menggunakan duit pinjaman dari Cina,” setusnya.

Menurut dia, Malaysia bagian barat KL sampai dengan arah airport yang baru sekarang banyak dikuasai oleh pengusaha-pengusaha kaya keturunan Cina. Sebuah data dari NAS (National Agenda Secretariat) di Malaysia menyebut kepemilikan tanah di antara orang-orang terkaya di Malaysia. Tan Sri Lee Shin Cheng (101 Group) disebut memiliki 185.000 hektar (39%), Tan Sri Lim Kok Thay (Genting Group) memiliki 145.000 hektar (30,8%), Tan Sri Tiong Hiew King (Rimbuan Group) memiliki 135.000 hektar. “Ada 2 pengusaha pribumi yang juga menguasasi lahan tetapi dengan prosentase yang sangat kecil, yaitu Tan Sri Syed Mokhtar menguasai 5.000 hektar (1%) dan Datuk Amar Sapawi menguasai 1.000 hektar (0,2%),” ungkap Suripto.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Iklim Demokrasi Indonesia Sudah Dewasa

Baca: Pengamat: Mempersatukan Ummat Islam tak Mudah dan Perlu Energi Besar
Selain itu, Suripto menyampaikan, Tahun 2030 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta jiwa, 60% nya akan diisi tenaga kerja produktif yang tidak akan bisa bersaing dengan tenaga kerja asing di era pasar bebas atau merkantilisme yang diberlakukan di negara-negara ASEAN. Mereka mungkin hanya akan menjadi kacung kalau tidak disiapkan dari sekarang. Saat ini saja tenaga kerja asing dari Cina sudah membanjiri negara kita di berbagai wilayah seperti Banten, Bogor, Sultra dll. Tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara budaya mereka menjadi ancaman bagi masyarakat kita. Penerbangan ke Kendari selalu dipenuhi tenaga kerja asing dari Cina, lebih dari ½ jumlah penumpang. Badannya kekar-kekar, ini tenaga kerja atau tentara?

“Belum lagi jumlah wisatawan Cina yang mencapai angka 500.000 orang itu pulang lagi ke negaranya atau tinggal di sini?,” ucapnya.

Pewarta: Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 5