Opini

Islam dan Politik dalam Masyarakat Postmodern (Bag. I)

“Budaya postmodern dewasa ini tampaknya memiliki daya jangkit yang begitu masif. Michael Foucault menganggap bahwa postmodern merupakan implikasi atas hubungan diferensiasi atas subjek dan objek pada era modern.”

NUSANTARANEWS.CO – Dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh “mesin produksi”, perbedaan antar nilai guna dan nilai tukar menjadi relevan. Jelas pada suatu saat, Karl Marx mampu memberikan penjelasan yang relatif masuk akal tentang perkembangan kapitalisme hanya dengan menggunakan kategori-kategori tersebut.

Nilai guna suatu objek tidak lain merupakan kegunaannya yang terkait dengan pengertian Marx tentang pemenuhan kebutuhan tertentu. Di sisi lain, nilai tukar terkait dengan nilai produk itu di pasar, atau harga objek yang bersangkutan. Objek nilai tukar inilah yang disebut Marx sebagai bentuk komoditas dari objek tertentu.

Budaya postmodern dewasa ini tampaknya memiliki daya jangkit yang begitu masif. Michael Foucault menganggap bahwa postmodern merupakan implikasi atas hubungan diferensiasi atas subjek dan objek pada era modern. Ketika itu, sebab-sebab kausalitas pada era modern amat menitikberatkan pada negosiasi ideologi, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, dalam domain potsmodern, media baru (new media) menjadi struktur dominan yang tidak bisa terelakkan oleh siapapun dan melampaui apapun, termasuk produk hukum dan nilai kemanusiaan.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Atas dasar itu, mekanisme budaya postmodern melahirkan sebuah produk ketegangan (ideologi) yang bernama “Islam dan Nasionalisme”. Tema tersebut akhir-akhir ini kerap diperbincangkan sebab masyarakat mempersepsi dan memposisikan Islam sebagai ideologi yang “paling benar” dan representatif di Republik ini. Tak ayal, fanatisme terhadap agama tidak bisa dibendung, dan cenderung reaktif.

Peralihan dari modernisme menuju postmodernisme dilukiskan oleh berbagai pemikir sebagai peralihan dari klaim-klaim ketunggalan, keterpusatan, universalitas, homogenitas, dan rasionalitas ke arah klaim-klaim baru kemajemukan, ketidakterpusatan (decentering), relativitas, heterogenitas, dan antirasionalitas (Pilliang, 2006: 425). Relativitas dan heterogenitas inilah yang idealnya menjadi dasar bagi pemeluk agama Islam dalam membangun Islam yang sejuk, Islam yang ramah, bukan Islam yang marah.

Rumusan Islam yang demokratis sesungguhnya sudah diinisiasi oleh Nabi Muhammad saw via Piagam Madinah. Piagam Madinah, sebagai “konstitusi awal” mengakomodir berbagai macam agenda politik dan kebudayaan seluruh kelompok/ organisasi yang hidup saat itu.

Dan, penulis kira rumusan itu final serta kontekstual sebagai rujukan kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang. Akan tetapi, untuk mewujudkan Islam yang ramah di tengah agenda politik yang semakin pelik, serta minimnya keteladanan (uswah hasanah) dari para pemimpin maka, peru kerja keras dan kerja cerdas dari seluruh elemen bangsa Indonesia. (bersambung)

Baca Juga:  Jatim Barometer Politik Nasional, Khofifah Ajak Masyarakat Tidak Golput

*Wahyu Budiantoro, Penulis adalah Manajer Pelaksana di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban Purwokerto.

Related Posts

1 of 14