Opini

Islam dan Politik dalam Masyarakat Postmodern (Bag. II)

NUSANTARANEWS.CO – Krisis keteladanan yang melanda umat Islam merupakan imbas dari romantisme historis yang lekat dengan ingatan segelintir umat muslim sekarang yang “mengharuskan” format Islam ideal adalah Arabisme. Dengan pemikiran absolut semacam itu, maka produk ijtihad para ulama menjadi aksidensia belaka.

Artinya sesuatu yang ada, namun tidak harus diikuti. Akan tetapi, disitulah pangkal bahayanya. Orang akan dengan mudah mengatakan, “adab lebih baik ketimbang ilmu pengetahuan”.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin manusia akan berakhlak dan beradab mulia dengan baik jika tidak didasari dengan konstruksi ilmu pengetahuan yang kokoh? Bukankah untuk dianggap baik oleh orang lain cukup dengan diam dan tidak banyak bicara? Apakah diam dan tidak banyak bicara itu variabel mutlak moral dan abab? Jika tidak ada kesungguhan dalam belajar/ talabul’ilmi, maka adab akan menjadi fantasizing the past, mimpi di siang bolong.

Baca Juga:
Islam dan Politik dalam Masyarakat Postmodern (Bag. I)

Oleh sebab itu, mengikuti tesis Foucault di atas, di era postmodern eksistensi keberagamaan kita sedang ditandingkan dengan “politik label”. Kita akan dengan mudah mendengar ungkapan “bid’ah”, “kafir”, “dosa”, “masuk neraka”, dan stereotipe lainnya.

Baca Juga:  Politisi Asal Sumenep, MH. Said Abdullah, Ungguli Kekayaan Presiden Jokowi: Analisis LHKPN 2022 dan Prestasi Politik Terkini

Hidup kita seolah-olah dikebiri dan dilingkari oleh istilah-istilah ukhrawi semacam itu yang hanya layak diucapkan oleh Allah Swt dan Nabi Muhammad saw (bahkan Nabi saja urung melakukannya). Ketika manusia dengan mudah menggunakan kata-kata itu, utamanya untuk mendiskreditkan golongan umat yang lain maka bisa dipastikan ada yang salah dengan sikap keagamaannya. Sejak kapan manusia diberi mandat dan wewenang sama (equal) dengan kuasa Allah Swt?

Islam itu rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil muslimin. Artinya kehendak Islam itu adalah memayungi semua umat manusia yang kepanasan. Menghujani siapa saja yang dilanda kemarau, dan menyirami apa saja yang kekeringan, bukan hanya bagi satu golongan. Umat muslim dianjurkan untuk terus belajar dan menggali makna dari segala macam peristiwa. Public adress-nya adalah talabul’ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wal muslimat. Belajar dan menuntut ilmu adalah kewajiban umat muslim.

Dari belajar itulah, kita juga dianjurkan untuk balighu’anni walaw ayah, sampaikanlah mandat profetik yang dianugerahi Allah melalui Kanjeng Nabi, meskipun hanya satu ayat. Maksudnya adalah untuk bisa menyampaikan satu kebaikan, maka dibutuhkan seratus tahun kesunyian, meminjam istilah Gabriel Garcia Marquez. Jangan terbalik, baru saja mengarungi satu tahun kesunyian, tapi sudah ingin menyampaikan seratus kebaikan. Beragama tidak se-konyong-konyong itu.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menangi Pilpres Satu Putaran

Dengan demikian, jangan “jual” kecerdasan keagamaan kita untuk kepentingan kapital. Apalagi kali ini bertepatan dengan gelaran akbar pemilukada . Politik bisa dengan mudah menyulap siapa dan apa saja yang tadinya produktif menjadi kontra-produktif.

Gus Dur pernah mengatakan, yang lebih utama dari politik adalah kemanusiaan. Nah, apabila media baru tidak lagi objektif dan presisi dalam menyampaikan informasi, kepada siapa lagi kita akan menaruh harapan agar kesejahteraan manusia bisa terpenuhi, jika tidak pada visi kemanusiaan masing-masing?

*Wahyu Budiantoro, Penulis adalah Manajer Pelaksana di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban Purwokerto.

Related Posts

1 of 14