Opini

Irrasionalitas Remunerasi Direksi dan Komisaris BUMN

Gedung Kementerian BUMN. (Istimewa)
Gedung Kementerian BUMN. (Istimewa)

Irrasionalitas Remunerasi Direksi dan Komisaris BUMN
(Kasus Gaji Direksi dan Komisaris Pertamina)

 

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Luar biasa tak masuk akalnya. Itulah kata-kata yang bisa disampaikan terhadap teramat besarnya gaji dan tunjangan yang diberikan kepada Direksi dan Komisaris PT Pertamina (Persero) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan interval antara Rp 2-4 miliar lebih gaji dan tunjangan yang diterima oleh para Direksi dan Komisaris Pertamina dapat dipastikan jumlah ini sangat berlebihan, meskipun diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau Peraturan Menteri BUMN.

Artinya, gaji Direksi dan Komisaris Pertamina yang mencapai Rp 200 juta per hari tersebut tak masuk akal (unreasonable) dalam konteks kebutuhan hidup manusia dan keluarga sehari-hari. Bahkan dengan kebutuhan hidup mewah sekalipun angka Rp 200 juta per hari itu sangat fantastis digunakan tidak saja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak akan tetapi sudah masuk dalam kategori moral hazard dan bertentangan dengan Pancasila.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

BUMN Dan Ketimpangan

Kita patut mengkritik banyaknya kewenangan bebas yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagian besar kewenangan bebas tersebut tidak sesuai dengan ide dasar pendiriannya dan tentu saja melanggar konstitusi pasal 33 UUD 1945. Apalagi gini rasio Indonesia Tahun 2018 masih menunjukkan angka 0,384 dengan tingkat ketimpangan yang cukup tinggi (walau ada penurunan sebesar 0,007 poin).

Selain gaji sebagian besar CEO atau Dewan Manajemen atau Direksi BUMN yang sangat besar jika dibandingkan dengan gaji para menteri, para pejabat eselon 1 dan 2 di kementerian dan lembaga, lebih dari itu span of control BUMN hanya core business dan bukan sektoral, walau banyak yang mendirikan anak perusahaan yang tidak sejalan dengan usaha intinya.

Dengan fasilitas dan tunjangan yang juga telah diterima oleh para Direksi BUMN ini yang sudah lebih dari layak, maka pembagian bonus dan tantiem dari laba perusahaan BUMN jelas memiliki moral hazard yang tinggi di saat APBN defisit sangat besar dan negara punya beban utang luar negeri. Apabila BUMN dikelola dengan baik dan benar serta profesional dan jauh dari kepentingan politik sesaat atau jangka pendek, maka tidaklah mungkin BUMN akan merugi terus.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Oleh sebab itu, kita harus mendesak pemerintah agar menata pengelolaan gaji Direksi dan Komisaris serta laba BUMN supaya diatur kembali secara konstitusional dan tidak bisa begitu saja diserahkan pada peraturan Menteri Keuangan, Menteri BUMN dan BUMN masing-masing.

Semestinya ada peraturan yang lebih tinggi mengatur soal ini yang memuat apa dasar penetapan dan ukuran-ukuran yang digunakan dalam menentukan gaji direksi dan Komisaris BUMN dan publik berhak untuk tahu. Alasannya jelas, karena modal awal BUMN saat berdiri adalah berasal dari dana negara, jadi semua ketentuan terkait dengan pengelolaan BUMN, termasuk laba harus diatur mekanismenya dan harus ada yang masuk kas negara, sebagian atau seluruhnya.

Untuk itu, pengaturan gaji dan remunerasi Dewan Direksi dan Komisaris BUMN harus dirasionalisasi sesuai dengan standar umum yang berlaku secara manajerial di Indonesia. Dengan masih adanya rakyat Indonesia yang masih berpenghasilan bahkan Rp 500 ribu per bulan, alangkah tidak eloknya ada sebagian kecil warga bangsa ini menikmati gaji atau penghasilan yang berlebih-lebihan.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Kementerian Keuangan dan BUMN harus segera melakukan tindakan cepat atas gaji Direksi dan Komisaris Pertamina ini khususnya dan BUMN lain pada umumnya supaya tak terjadi kecemburuan sosial dan menjadi kontraproduktif atas kinerja BUMN serta berpotensi terjadinya manipulasi laporan keuangan untuk pos-pos tertentu bagi BUMN-BUMN yang gaji Direksi dan Komisarisnya tak sebesar Pertamina.

Related Posts

1 of 3,049