ArtikelEkonomi

Ironi Saham Tambang Emas Batu Hijau NTB

Pada bulan Maret 2008 Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) saling menggugat kepada lembaga arbitrase internasional (United Nations Commission on International Trade Law, UNCITRAL), atas perselisihan pelaksanaan divestasi saham NNT. Setelah setahun, pada tanggal 31 Maret 2009, arbitrase internasional memutuskan NNT bersalah, dan diwajibkan melepas 17% sahamnya kepada pemerintah dalam waktu 180 hari. Saham yang dijual harus bebas gadai (tahun 1996, 80% saham NNT dijaminkan kepada Bank Exim Jepang, Exim US dan KFW Jerman, untuk pinjaman US$ 1 miliar).

Sesuai kesepakatan dalam Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1986, NNT harus menjual 31% sahamnya kepada pihak Indonesia (pemerintah dan/atau swasta nasional) dalam kurun waktu lima tahun sejak berproduksi (antara 2006-2011). Pada praktiknya, NNT telah menawarkan saham 3%, 7% dan 7% untuk tahun 2006, 2007 dan 2008, dengan harga jual masing-masing US$ 109 juta, US$ 282 juta dan US$ 426 juta. Karena berbagai hal, eksekusi penjualan saham batal terlaksana, dan NNT dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Arbitrase.

Saat itu kita tidak melihat komitmen yang kuat dan tegas dari pemerintah untuk membeli saham NNT. Di sisi lain, kita menyatat perkembangan yang memprihatinkan di NTB. Ketiga pemerintah daerah (Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa), lebih tertarik bekerjasma dengan swasta dibanding dengan BUMN atau pemerintah pusat. Padahal pemilikan saham oleh pemerintah (pusat & daerah) adalah sesuai amanat konstitusi, terbukanya kesempatan untuk ikut mengelola tambang Batu Hijau, dan akan menjamin optimalnya pendapatan negara, serta pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah.

Pada saat kisruh pembelian saham berlangsung sekitar 2008-2010 secara terus-menerus IRESS telah menyampaikan agar saham NNT tersebut dibeli oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda), melalui pembentukan suatu konsorsium BUMN dan BUMD. Langkah tersebut merupakan jalan terbaik yang harus diambil oleh pemerintahan SBY-Boediono untuk menguasai NNT, agar memberi manfaat terbaik baik negara dan rakyat, bukan dengan melepas kesempatan tersebut kepada pihak swasta.

Permintaan IRESS di atas kembali disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh DPD RI dan BEM UNRAM, pada 16 Juni 2009, di Mataram.

Seminar bertema Divestasi Saham NNT: Mendukung Dominasi Pemerintah dan Menangkal KKN, antara lain dihadiri oleh Gubernur NTB Zainul Madjdi, Kurtubi, M. Ikhsan Mojo dan Suryahadi dari MIPA UNRAM. Sayangnya, saat itu kami sebagai wakil DPD RI seolah hanya bersuara sendirian karena pembicara lain, terutama Zainul Madjdi dan Kurtubi memang lebih menginginkan agar saham tersebut dibeli oleh daerah dan dikerjasamakan dengan swasta yaitu PT Multi Daerah Bersaing.

Konsorsium BUMN & BUMD

Guna mengeksekusi saham NNT, pemerintah dapat menunjuk sejumlah BUMN untuk membentuk konsorsium dengan BUMD (DMB). Merupakan hak pemerintah untuk membeli saham (first right of refusal), untuk segera dialihkan kepada konsorsium tersebut. Untuk itu, saat itu IRESS meminta agar Gubernur dan Bupati-bupati mengamankan kepentingan negara dan daerah tersebut dan menggalang kerjasama dengan DPRD masing-masing.

Kita menghimbau agar para pejabat di daerah tidak terkecoh, diperalat atau mengajak swasta untuk bekerjasama menguasai saham NNT, dengan alasan bahwa pemda tidak mempunyai dana. Kerjasama tersebut pada dasarnya hanya akan merugikan daerah/rakyat karena sebagian besarkeuntungan akan jatuh kepada pihak swasta. Bahkan keuntungan yang diperoleh swasta dapat saja jauh lebih besar dibanding yang diperoleh daerah.

Alternatifnya, pendanaan yang visible dan murah dapat diperoleh dengan bekerjasama dengan BUMN melalui suatu konsorsiun yang disebutkan di atas.

Saat itu kami pun mengingatkan agar pemda-pemda tidak mengulang kesalahan Pemda Bojonegoro. Pada tahun 2006 Pemda/Bupati dan DPRD Bojonegoro sepakat menunjuk langsung PT Surya Energi Raya (SER) sebagai patner untuk mengelola participating interest hak Kabupaten Bojonegoro di Blok Migas Cepu. Dalam perjanjian kedua belah pihak antara lain disepakati bahwa bagi hasil kerjasama adalah 25% : 75% untuk keuntungan SER. Dalam hal ini, sangat patut diduga telah terjadi praktik KKN.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Hal ini akan merugikan daerah sekitar Rp 2 triliun selama 10 tahun eksplotasi Cepu (asumsi harga minyak US$ 60/barel)!

Potensi tambang & pendanaan

Saat itu kami sangat yakin konsorsium BUMN & BUMD akan dapat memperoleh pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan guna memenuhi kebutuhan dana untuk membeli saham NNT. Hal ini terutama didasarkan pada besarnya potensi/cadangan mineral tambang Batu Hijau, yang mengandung 11,2 miliar pound tembaga, 14,7 juta ounce emas dan 27,6 juta ounce perak.

Dengan merujuk kepada harga rata-rata mineral (selama tahun 2009) yang diterbitkan oleh London Metal Exchange (LME) yaitu Tembaga/copper=US$ 2/pound, Perak=US$ 13,11/ounce, dan Emas=US$ 925/ounce, serta asumsi nilai tukar US$/Rp= 10.500, maka potensi pendapatan yang dapat diperoleh dari tambang Batu Hijau adalah US$ 36,36 miliar atau sekitar Rp 381,78 triliun.

Kandungan nilai tambang sebesar Rp 381,78 trilun ini jelas merupakan potensi besar yang menjadi jaminan akan diperolehnya pinjaman dana dari bank/lembaga keuangan.Potensi ini pulalah yang membuat sejumlah perusahaan swasta tertarik memiliki saham NNT atau pemegang saham NNT saat ini enggan melepas sahamnya. Baik pihak swasta nasional maupun asing tersebut telah dan akan berupaya memiliki atau mempertahankan saham di NNT. Faktanya, potensi sumber daya alam milik negara tersebut telah digadaikan atau dijadikan jaminan oleh Newmont dan Sumitomo saat memulai eksploitasi tambang, untuk memperoleh kredit US$ 1 miliar dari konsorsium bank pada tahun 1996.

Ironi sikap SBY

Pada November 2009, tidak lama setelah dilantik menjadi Presiden untuk periode ke-2, Presiden SBY resmi menunjuk BUMD milik Pemda-pemda di NTB untuk membeli 24% saham NNT. Padahal sesuai ketentuan dalam KK, Pemerintah Pusat dan BUMN memiliki hak yang lebih tinggi dibanding BUMD untuk menguasai saham tersebut.

Ternyata, IRESS mencatat bahwa salah satu ‘prestasi’ 100 hari Kabinet SBY-JK adalah mengabaikan hak konstitusional Negara/BUMN untuk ikut memiliki saham Newmont.

SBY justru memihak kontraktor swasta

Saat itu, IRESS mencatat sejumlah kejanggalan dan sandiwara pejabat-pejabat pemerintah yang pada intinya tidak memihak BUMN untuk membeli saham NNT.

Pemerintah Pusat telah menunjuk Pemda NTB sebagai pimpinan konsorsium (lead consortium) yang membeli saham divestasi NNT. Padahal dalam KK (Pasal 1 angka 10) dinyatakan bahwa posisi Pemerintah Pusat dan BUMN lebih tinggi dibanding posisi Pemda.

Dalam Pasal 4 UUD 1945 (tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara) dan Pasal 18, 18A (tentang Pemerintahan Daerah) diamanatkan bahwa kedudukan pemerintah pusat dan BUMN lebih tinggi dibanding kedudukan Pemda. Pemerintah dengan sengaja membiarkan dan merendahkan posisi Pemerintah Pusat dan BUMN berada di bawah Pemda. Dirjen Minerbapabum, Bambang Setiawan, mengatakan (Rakyat Merdeka 19/11/2009) bahwa DESDM telah berupaya agar BUMN, Antam, bisa berpartisipasi dalam program divesatsi NNT dengan menawarkan tiga opsi kepada Antam. Padahal dalam prakteknya Antam tidak diberi opsi, tetapi justru diminta untuk bernegosiasi dengan Pemda, yang sudah dikendalikan Multicapital.

Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, mengatakan sangat menginginkan Antam sebagai BUMN pusat bisa ikut dalam core bisnisnya itu tapi tidak tercapai juga (Republika 20/11/2009). Namun disisi lain pak menteri ini membiarkan Antam datang tunduk kepada Pemda sebagai lead consortium untuk bernegosiasi atas sesuatu yang maya.

Pemerintah mengatakan prihatin atas gagalnya Antam menguasai sebagian saham NNT (Rakyat Merdeka, 20/11/2009) dan berharap bisa tetap bergabung dalam konsorsium. Padahal pemerintahlah yang sejak awal telah menentukan Pemda sebagai lead consortium.

Pernyataan-pernyataan pejabat di atas adalah kebohongan publik dan sikap hipokrit pemerintahan SBY. Jika saat itu pemerintah tidak sedang berpura-pura dan konsisten perbuatan dengan ucapannya, maka yang semestinya dilakukan adalah menunjuk Antam sebagai lead konsosrsium, menetapkan porsi saham masing-masing (BUMN & BUMD) secara proporsional tanpa partisipasi swasta, dan mendukung memfasilitasi terlaksananya divestasi saham NNT hingga tuntas (hingga mencapai 31%).

Baca Juga:  Kondisi Jalan Penghubung Tiga Kecamatan Rusak di Sumenep, Perhatian Pemerintah Diperlukan

Pertarungan di MK

Entah karena apa atau karena tidak ingin mengulangi kesalahan sebelumnya, pada program divestasi 7% yang terakhir, Pemerintahan SBY-Boediono menyatakan bahwa Pemerintah Pusat akan menggunakan hak untuk membeli saham. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo pada April 2011 menyatakan akan menggunakan dana yang dikelola Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk membeli saham tersebut. Saat itu pemerintah telah memperoleh persetujuan harga dari NTT, yakni sebesar US$247 juta.

Namun pembelian tersebut batal terlaksana karena pemerintah memperoleh ‘perlawanan’ dari DPR RI. DPR menolak karena dana yang digunakan belum disetujui melalui mekanisme pembahasan APBN. Sikap DPR ini pun didukung oleh BPK RI.

Maka terjadilah pertarungan antara Pemerintahan SBY dengan DPR RI di MK akibat adanya Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Kedua belah pihak mendatangkan pakar-pakar hukum dan ekonomi untuk memenangkan pertarungan.

Pertarungan lembaga-lembaga negara tersebut ‘ditonton’ dengan asyik oleh para kontraktor asing, makin lama pertarungan berlangsung maka makin baik bagi investasi mereka, karena itu artinya mereka tidak perlu buru-buru melepas saham yang dimiliki dari bisnis yang sangat menguntungkan ini. Inilah ironi negara pemilik sumber daya alam yang para pemimpinnya tidak merasa perlu untuk menjaga martabat dan harga diri bangsa.

Setelah berproses selama lebih dari setahun, pada 31 Juli 2012, akhirnya MK membuat keputusan. MK secara resmi menolak permohonan Pemerintah Pusat untuk menguasai 7% saham NNT. MK beralasan dana yang digunakan untuk membeli saham belum memperoleh persetujuan DPR. Meskipun menggunakan anggaran PIP, dana yang digunakan tersebut perlu lebih dahulu dicantumkan dalam APBN. Sangat disayangkan bahwa MK tidak merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 33 UUD 1945.

IRESS sangat prihatin dengan keputusan MK tersebut. Namun sebelum itu, IRESS pun menyayangkan sikap DPR, yang entah di bawah ‘pengaruh’ siapa, justru tidak merujuk pada konstitusi dan alpa melihat hal yang esensial. DPR menolak rencana pembelian 7% saham NNT dengan hanya mempersoalkan masalah prosedural dibanding mengutamakan hal yang jauh lebih esensial, yaitu kebutuhan untuk berjalannya fungsi penguasaan negara oleh BUMN. Sesuai Pasal 33 UUD 1945, negara berkuasa untuk mengelola SDA mineral melalui BUMN guna mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Apalagi, ternyata sejumlah ketentuan dalam KK Newmont memberi hak lebih tinggi (first rights of refusal) kepada Pemerintah Pusat dan BUMN untuk membeli saham dibanding hak yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Dengan mengabaikan konstitusi, gagal mengutamakan hal-hal prioritas, mengabaikan hak pengelolaan oleh negara dan melanggar ketentuan dalam KK, DPR berhasil ‘menghambat’ upaya pemerintah membeli saham NNT. Dapat dicatat bahwa jika masalah prosedural yang menjadi alasan, mengapa DPR tidak menunda transaksi – bukan membatalkan transaksi (!) – antara pemerintah dengan NNT sampai persetujuan anggaran/APBN diperoleh?

Sikap pemerintahan Jokowi: Sama saja!

Setelah terjadinya perubahan pemerintahan, terbuka kesempatan bagi BUMN untuk mengelola tambang Batu Hijau saat NNT berencana menjual seluruh sahamnya pada awal 2016. Namun saat itu tidak terlihat antusiasme, keinginan yang kuat atau upaya optimal dari Pemerintahan Jokowi-JK untuk membeli saham tersebut. Pemerintah membiarkan saja (!) NNT melakukan langkah-langkah korporasi untuk menjual saham tersebut secara leluasa, tanpa mematuhi ketentuan yang berlaku dalam KK Newmont!

Baca Juga:  Pengangguran Terbuka di Sumenep Merosot, Kepemimpinan Bupati Fauzi Wongsojudo Berbuah Sukses

Akhirnya pada Juni 2016, Medco melalui Amman Mineral International (AMI), membeli saham 82,2% saham milik NNT, Sumitomo, MDB dan Masbaga dengan harga US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 34 triliun. Sisa saham 17,8% masih dikuasai oleh keluarga Merukh. Dalam mendanai pembelian 82,2% saham tersebut, Medco yang bekerjasama dengan AP Investment, Agus Projosasmito dan Kiki Barki, memperoleh dukungan dari keuangan dari Bank-bank BUMN (!) yakni Mandiri, BRI dan BNI.

Ternyata sikap pemerintahan Jokowi sama saja dengan sikap Pemerintahan SBY. Pemerintah mengatakan tidak berminat membeli saham NNT dan kawan-kawan, dan mempersilakan serta mendukung swasta nasional seperti Medco untuk menguasai saham tersebut. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pembelian saham tersebut adalah keputusan investasi, dan pemerintah menganggap investasi untuk infrastruktur lebih penting dibanding investasi saham NNT. Karena itu pemerintah tidak berminat membeli saham NNT c.s. Padahal seperti diuraikan di atas, karena merupakan amanat konstitusi, tidak ada alternatif lain bagi pemerintah kecuali memerintahkan BUMN untuk membeli saham tersebut. Pembelian saham NNT oleh BUMN adalah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan oleh pemerintah. Tetapi Jokowi membiarkan saja teman-teman dalam Tim Suksesnya untuk menguasai saham tersebut. Sehingga sebenarnya pemerintahan Jokowi dapat dikatakan telah melanggar konstitusi.

Sejalan dengan hal di atas, pada awal 2015 pemerintah pun sebenarnya telah mencanangkan pembentukan Holding BUMN Tambang agar pengelolaan SDA kita bisa lebih optimal dan mendatangkan manfaat dan nilai tambah bagi negara dan rakyat.

Dengan menguasai saham NNT maka maksud pembentukan Holding tersebut memperoleh lahan yang tepat dan subur untuk tumbuh dan berkembang. Ternyata kesempatan tersebut justru dilewatkan dengan mengungkap alasan-alasan yang tidak wajar atau masuk akal.

Sebenarnya selain hal-hal di atas, pembelian saham oleh Medco telah melanggar Pasal 16 (Special Right of the Government) dan Pasal 24 (Promotion of National Interest) Kontrak Karya Newmont yang ditandatangani pada Desember 1986. Sama seperti Pemerintahan SBY, Pemerintahan Jokowi pun mengabaikan ketentuan-ketentuan strategis yang diatur dalam KK Newmont.

Kita tidak tahu apakah telah terjadi suap-menyuap atau pemberian rente oleh pihak pembeli saham kepada oknum-oknum penguasa yang memiliki otoritas untuk membuat keputusan. Yang jelas ironi pengelolaan SDA yang melanggar konstitusi ini memang telah berlangsung berkali-kali, misalnya terjadi pada SDA migas Cepu, SDA minerba Timika/Freeport, dan lain-lain. Kekayaan negara telah ‘dimanfaatkan’ oleh oligarki penguasa-pengusaha, swasta nasional dan asing, untuk kepentingan bisnis, perburuan rente dan pelanggengan kekuasaan.

Oleh sebab itu, sangat wajar jika kita meminta kepada KPK dan BPK untuk segera menggunakan wewenang guna menyidik kasus transaksi saham NNT tersebut, terutama karena hingga saat ini Pemda NTB, Sumbawa dan Sumbawa Barat belum menerima dana yang menjadi haknya. Bahkan nilai perolehan yang seharusnya diterima oleh ketiga pemda dari transaksi saham tersebut pun hingga saat ini belum dapat dipastikan berapa jumlahnya.

Akhirnya, kepada Presiden Jokowi kita meminta untuk membatalkan atau mereview pembelian saham NNT oleh Medco/AMI. Dalam hal ini, yang harus menjadi pegangan utama adalah konstitusi. Pihak yang harus menjadi pemegang saham mayoritas NNT atau pengelola tambang Batu Hijau adalah Holding BUMN Tambang. BUMD harus pula menjadi pemegang saham, meskipun posisinya minoritas. Dalam hal ini Medco/AMI dapat saja diberi kesempatan untuk memiliki saham minoritas. Jika koreksi ini tidakdilakukan, maka dapat dikatakan pemerintahan Jokowi telah melanggar konstitusi dan sangat wajar untuk diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945 tentang pemakzulan.

Oleh: Marwan Batubara, Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS). Artikel ini disampaikan pada diskusi publik tentang Transparansi Divestasi Newmont 6 Februari 2018 di Hotel Ibis Budget Menteng Jakarta

Related Posts

1 of 4