EkonomiKhazanah

Ironi Negeri Agraris

NUSANTARANEWS.CO – Pasca kemelut politik di tingkatan raja-raja Jawa dengan ditandai perjanjian Gianti tahun 1755 dan 1757, secara gamblang telah memupus cita-cita agung kerajaan Mataram Islam. Kondisi itu pula telah merenggut impian untuk membentuk satu kesatuan Jawa yang utuh.

Seluruh wilayah Jawa Barat, seperti juga pesisir utara dan “ujung timur“ Pulau Jawa telah dikuasai pasukan VOC. Namun siapa sangka, kegagalan bidang politik para raja-raja ini justru dibarengi dengan kesuksesan pertumbuhan ekonomi di daerah pedesaan.

Tercatat pada tahun 1755 Jawa mengalami suatu masa perdamaian yang merentang hingga 1825. Produksi pertanian bertambah banyak, dan kesejahteraan umum membaik.  Selain itu dominasi Islam tampak pada tingkat sosial mengalami kemajuan pesat diberbagai kesultanan, dan itulah gejala terpenting pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18.

Tak bisa dipungkiri, ini merupakan kesuksesan ekonomi pedesaan di tengah-tengah ketegangan dan kegagalan para raja-raja Jawa Islam di kancah politik. Namun bertepatan dengan berakhirnya era itu, berakhir pula cerita tentang kedaulatan pangan bangsa ini.

Baca Juga:  Sumenep Raih Predikat BB Dalam SAKIP 2024, Bukti Komitmen terhadap Akuntabilitas Publik

Memasuki imperium kemerdekaan, Indonesia semakin gagap dalam mengahadapi kehidupan berbangsa. Kegagapan itu akhirnya membekas sampai sekarang. Era kemerdekaan 1945, yang memberikan harapan besar terkait cita-cita heroik menuju negara yang gemah ripah loh jinawi nyatanya tak kunjung datang. Kecuali di era Soeharto yang mampu mengangkat moral ekonomi pedesaan dengan keberhasilan swasembada pangannya.

Namun, bangunan itu ambruk pasca meletusnya reformasi sehingga membuat krisis melanda. Situasi ini kemudian berdampak serius terhadap ketahanan pangan nasional. Dimana beras, buah-buahan, minyak, garam sampai bawang putih saat ini diperoleh dari hasil impor. Inilah ironi negeri agraris.

Nampaknya bangsa ini mesti menengok ke belakang. Tahun 1755-1825, Nusantara khususnya Jawa mengalami masa-masa kesejahteraan dan peningkatan hasil produksi pertanian yang tidak tertandingi.

Denys Lombard mengutip Rafles dalam buku History of Java, menjelaskan bahwa “sedikit negeri yang rakyatnya bisa makan sebaik di Jawa. Jarang orang pribumi yang tidak dapat memperoleh satu kati beras yang dibutuhkan perhari. Nasi itu dimakan dengan ikan, sayur-sayuran, garam dan bumbu-bumbu lain.

Baca Juga:  Antisipasi Masuk Beras Impor, Pemprov Harus Operasi Pasar Beras Lokal di Jawa Timur

Kondisi itu, seolah memberikan sinyal kepada dunia bahwa sangat mustahil jika bangsa Indonesia mengalami krisis pangan. Van Goens seorang penulis Sejarah Jawa merasa terkesan dan kagum melihat bentangan-bentangan sawah yang menghijau sepanjang perjalanannya di Plered, Bantul, Yogyakarta. Namun, nuansa gemar ripah loh jinawi yang dituturkan Vans Goens maupun Rafles rasanya hanya sebatas dongeng tempo dulu, tidak lebih.

Penulis: Romandhon

Related Posts

1 of 21