Opini

Ironi Madrasah

Madrasah Diniyah Takmiliyah menggelar ujian akhir serentak dimulai 9 April-12 April 2018. (Foto Dok. NusantaraNews)
Madrasah Diniyah Takmiliyah menggelar ujian akhir serentak dimulai 9 April-12 April 2018. (Foto: Dok. NusantaraNews)

Ironi Madrasah

Mendengar kata madrasah, yang merupakan kata serapan dari Bahasa Arab yang artinya sekolah, tentu yang terbayang adalah sekolah dengan latar belakang dan nuansa Islam yang kental. Orang tua yang memasukkan anaknya ke madrasah, tentu berharap mendapatkan pelajaran agama yang lebih dibanding Sekolah Umum.

Sekolah umum mempunyai pelajaran agama hanya dua jam setiap pekannya. Berbeda dengan madrasah yang lebih banyak serta terbagi lagi menjadi beberapa cabang ilmu seperti Aqidah Akhlak, Al Qur’an Hadits, Fiqih, Bahasa Arab, Sejarah Islam dan sebagainya. Dengan kondisi itu, diharapkan output dari madrasah adalah generasi yang mempunyai bekal lebih dalam agama dan lebih memahami Islam.

Sudah menjadi hal yang wajar dan positif bila pemerintah berencana untuk meningkatkan kualitas madrasah dasar dan menengah di negara ini. Kebutuhan peningkatan mutu yang dimaksud adalah pengembangan kapasitas guru dan tenaga kependidikan, pengadaan sarana prasarana penunjang pembelajaran, pengadaan peralatan laboratorium, pengadaaan buku dan sumber belajar dan lainnya.

Namun sayang, jika dicermati secara mendetail ada beberapa hal krusial yang justru kontraproduktif terkait program ini. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan program peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Bank Dunia. Bank Dunia pun sepakat untuk memberikan pinjaman senilai Rp 3,7 triliun yang akan menyasar 50.000 madrasah.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Pinjaman kepada Bank Dunia tentu menjadi tambahan beban negara untuk mengembalikan sesuai jatuh temponya. Hal yang paling kontras adalah keharusan negara untuk membayar bunga pinjaman, karena sama saja dengan melakukan transaksi riba yang hukumnya haram.

Tentu menjadi ironi, bila untuk tujuan mulia yaitu meningkatkan mutu generasi Islam, namun dananya bersumber dari pinjaman berbunga alias riba yang diharamkan dalam Islam. Rasul saw bersabda jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri (HR al Hakim, al Baihaqi dan ath-Thabrani)

Adalah wajar jika Bank Dunia sebagai kumpulan atau lembaga investasi dari beberapa negara mengharapkan keuntungan dari modal yang telah mereka investasikan dari negara pengutang. Keuntungan yang mereka peroleh tak lain adalah dari bunga pinjaman sebagaimana praktik yang bisa kita lihat di bank konvensional.

Di sisi lain, keberadaan Bank Dunia yang notabene berada dalam naungan PBB, tentu tak bisa dilepaskan dari misi-misi tertentu alias bebas nilai, terutama terhadap dunia Islam dan kepentingannya.

Artinya, umat Islam sudah sepatutnya jeli, apakah benar Bank Dunia yang dipromotori negara-negara yang selama ini memusuhi Islam tersebut tulus mengharapkan kemajuan pendidikan Islam yang sebenarnya? Ataukah, mengharapkan kemajuan dalam konteks yang mereka inginkan?

Sudah bukan rahasia lagi, jika dunia Barat tentu menginginkan warna Islam sesuai dengan yang mereka kehendaki. Jika Islam berkembang sebagaimana ajaran aslinya, tentu hal ini mengganggu eksistensi dunia Barat beserta agenda-agendanya pada dunia. Jadilah, mereka mengupayakan agar Islam ini dipeluk oleh umatnya tanpa mengganggu ambisi mereka.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Wacana dikhotomi Islam telah lama dimunculkan yaitu radikalisme dan ekstrimisme versus toleran dan moderat. Rupayanya, upaya ini telah menuai hasil sehingga sampai sekarang masih dipakai, termasuk memasukkannya dalam bidang pendidikan.

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof Komarudin Amin mengatakan, Kementerian Agama tengah gencar mempromosikan moderasi beragama yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstrimisme.

Sangat disayangkan sekali jika umat Islam terjebak pada arus dikhotomi ini. Kita ketahui bersama bahwa dikhotomi Islam telah ada di negeri ini sejak jaman penjajahan Belanda. Saat itu, penjajah telah mengotak-kotakkan penduduk dengan maksud memecah-belah seperti kalangan santri versus abangan, radikal versus moderat dan sebagainya.

Hasilnya, sampai saat ini manipulasi sejarah terjadi. Contoh kecilnya, banyak tokoh atau pahlawan tanah air yang kental perjuangan Islamnya, gigih melawan penjajah serta bersikap keras tidak mau kompromi dan bekerja sama dengan penjajah Belanda, namun tak begitu terkenal. Di sisi lain, justru bangsa ini mengangkat tokoh-tokoh yang bersikap sebaliknya untuk dijadikan simbol pahlawan bangsa.

Bukan tidak mungkin, moderasi Islam serta perlawanan terhadap apa yang mereka namakan dengan radikalisme hanyalah upaya untuk menjauhkan umat Islam dengan ajaran aslinya. Upaya ini sebenarnya sudah lama berlangsung, dan karena terlihat keberhasilannya, diteruskanlah upaya ini.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Mengingat di sisi lain, arus gelombang hijrah pada generasi muda saat ini begitu deras, alias ketertarikan mereka untuk mengkaji Islam lebih dalam makin menggema di tengah kompleksitasnya persoalan bangsa. Tentu hal ini menjadi kondisi yang tak diinginkan para musuh Islam.

Bagaimanapun juga, selama ini output madrasah pada faktanya memang memiliki wacana ilmu Islam yang lebih dibandingkan output sekolah umum. Jika ini berpadu dengan ketertarikan generasi untuk mengamalkan ajaran Islam, tentu gelombang kebangkitan Islam ke depan bakal tak terbendung.

Moderasi Islam tak lain adalah upaya untuk membendung kebangkitan ini. Di antara contohnya adalah dengan membelokkan makna-makna dari ajaran Islam dari makna yang sebenarnya, seperti jihad yang artinya perang diganti menjadi melawan hawa nafsu semata.

Moderasi madrasah tentu akan berimbas jauh pada melencengnya pemahaman generasi pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Lama-kelamaan mereka tidak mengenali lagi ajaran Islam yang asli. Tidak memahami bahwa Islam adalah agama yang kaffah, di dalamnya terdapat sistem atau aturan-aturan yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan seluruh permasalahan umat, bangsa dan negara.

Oleh: Ratna Mufidah, Alumnus Universitas Negeri Malang

Related Posts

1 of 3,051