Sosok

Irjen (Pol) Anton Charliyan: Jaga Energi Positif, Hidup Harus Diperjuangkan

Anton Gotong Peti Serda Ilman/Foto Nusataranews via tribratanews
Anton Gotong Peti Serda Ilman/Foto Nusataranews via tribratanews

NUSANTARANEWS.CO – Anton Charliyan, kali ini menjadi sosok pilihan Nusantaranews. Aksi Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal Polisi Dr H Anton Charliyan MPKN, turut mengusung jenazah Serda Mohammad Ilman, anggota TNI yang gugur di Poso, Sulawesi Tengah, mendapat tanggapan positif dari netizen. Seperti diberitakan oleh banyak media, ada enam orang yang mengusung peti mati jenazah Serda Mohammad Ilman, lima berpakaian TNI dan satu Polisi. Yang satu inilah Kapolda Sulsel Irjen Pol Anton Charliyan. Tangan kirinya mengangkat peti, sementara tangan kanan tampak tetap memegang tongkat komando.

“Hidup harus diperjuangkan. Tanpa perjuangan, hidup akan mengalir seperti air. Tanpa kendali akan menuju titik terendah dan berbaur kepada ketidakpastian. Hidup yang seperti itu, hidup tanpa perjuangan, akan larut dalam senyawa kejenuhan dan sulit diurai,” demikian Inspektur Jenderal Anton Charliyan menulis dalam bukunya yang berisi kumpulan kata bijak para tokoh dunia dan Indonesia.

Bukan sekadar rangkaian kata, sosok penuh warna yang kini menempati posisi sebagai Kapolda Sulawesi Selatan ini nyata menghayati betul apa yang diyakininya itu. Tak mengherankan jika sosok ramah kelahiran Tasikmalaya, 29 November 1960 ini selalu menjaga energi positif dalam dirinya agar hidupnya tak sekadar mengalir seperti air.

“Kita pasti membutuhkan sebuah kekuatan, dorongan, bahkan sebuah inspirasi yang menjadi energi positif,” tegas mantan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri ini. Senantiasa menjaga energi positif untuk mencerahkan hati, tak pelak, membuat alumni AKABRI 1984/27 ini tampil beda. Olah akal, budi, dan rasa yang terus dipeliharanya dalam meniti kehidupan yang tidak sekadar “let it flow” membuatnya menjadi sosok perwira polisi yang lain daripada yang lain, bahkan unik.

Ya, sepak terjang Anton sebagai salah satu petinggi kepolisian memang terbilang unik. Bagi sebagian lainnya, sosok suami Ajeng Anjarsari ini malah terbilang nyeleneh. Betapa tidak, di tengah rutinitas dan dunia serba “keras” yang digelutinya, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah ini tetap tidak kehilangan kelembutan dan sensitivitas kemanusiaannya.

Yang luar biasa, Anton juga merasa tidak perlu repot mengatur sikap terkait pencitraannya sebagai perwira polisi saat menunjukkan kelembutan perasaan tersebut. Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, Anton tidak perlu pusing bersikap “jaim” untuk menunjukkan kepekaan dan suasana hatinya.

Pemandangan Anton menangis saat menyambangi lima bocah yang ditelantarkan kedua orang tuanya di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, memang sempat membuat sedikit kegaduhan. Di tengah perkembangan media sosial sekaligus tatanan sosial baru yang demikian terbuka seperti sekarang, kabar menangisnya Sang Jenderal pun dengan cepat menyebar dalam hitungan menit, bahkan detik. Tak pelak, aroma kontroversi bercuitan dari dahan ke dahan, menembus ruang dan waktu. Untuk sebagian orang, aib bagi laki-laki, apalagi jenderal polisi, menangis di depan umum. Sedang bagi yang lain, boleh saja laki-laki bahkan jenderal polisi sekali pun, menangis. Laki-laki, inspektur jenderal polisi, kan juga manusia.

“Kasih sayang orang tua tidak bisa digantikan dengan apa pun juga. Sayang, anak-anak kalau tidak dapat perawatan dari orang tua. Mereka butuh kasih sayang. Sangat kentara sekali, anak-anak itu sangat kurang kasih sayang dan membutuhkannya,” ujar laki-laki berdarah Sunda ini di tengah isak tangisnya tentang kondisi kelima anak terlantar yang ditemuinya kala itu.

Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai anak-anaknya, sisi kemanusiaannya terusik melihat derita kelima anak malang tersebut. Sisi humanis yang ada dalam dirinya sontak menyeruak tampil manakala anak-anak itu memanggilnya ayah. Dan, naluri ayah sejatinya menjadi milik kaum Adam mana pun juga, tanpa kecuali.

“Saya salah satu yang mencintai anak,” tegas polisi yang pernah secara khusus berguru tentang Trafficking in Person di Malaysia, Syria, Prancis, dan Nairobi ini.

Tangis Anton pecah secara spontan terdorong kelembutan dan kepekaannya sebagai sosok yang senantiasa berdamai dengan hatinya. Sebuah sikap jujur dan tulus, buah olah rasa yang terlatih dalam waktu lama. Ya tugasnya sebagai seorang polisi yang penuh dedikasi membuatnya jarang bertemu dengan keluarga, jarang bertemu dengan anaknya. Jadi wajar saja bila perasaannya tergetar ketika teringat dengan anaknya yang jarang dia jumpai.

Reserse dan Kasus Misterius

Wajar jika banyak orang terhenyak melihat seorang Anton Charliyan menangis. Pasalnya, selama ini Anton dikenal sebagai perwira polisi yang dekat dengan tugas-tugas “keras” dan beraroma penyidikan. Bahkan, tugas-tugas penyidikan kasus-kasus besar penuh misteri yang gaungnya tak hanya di dalam negeri namun juga menyita perhatian dunia internasional.

Kasus Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh dalam sebuah konspirasi di Surabaya, Jawa Timur, adalah kasus besar yang ditanganinya pada 2000. Bahkan, laki-laki yang sangat hormat kepada ibunya, Hj Momoh Fatimah, ini sempat dikirim ke Australia untuk memperdalam tugas penyidikan pada kasus pembunuhan menggemparkan ini.

Hal sama terjadi saat Anton kembali harus menangani kasus besar dan sangat politis, pembunuhan tokoh Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib. Pendiri Kontras ini meninggal karena racun arsenik di atas pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, pada 1 September 2004. Sama seperti kasus Marsinah, Anton pun harus terbang ke Belanda dan Jerman untuk memperdalam penyidikan.

Bisa dikatakan, Anton besar di dunia reserse di sepanjang karier kepolisiannya. Sejak bertugas sebagai Kasat Serse di Polda Kalimantan Barat pada 1991 hingga Kanit III Dit I dan Trannas Bareskrim Polri yang berakhir pada 2008, dunia Anton adalah dunia penyidikan. Peran penyidikan berkurang saat penulis buku sarat renungan “Setetes Embun” ini diangkat menjadi Kapolwil Priangan Polda Jawa Barat pada 2008.

Dunia “keras” yang ditanganinya membentuk Anton menjadi pribadi tangguh.  Selain kasus-kasus misterius dengan pengaruh besar, sosok yang dekat dengan berbagai kalangan ini juga pernah menimba ilmu tentang anti terrorism di Amerika Serikat pada 1995.

Peduli Budaya

Kendati sibuk berkutat dengan berbagai tugas dan masalah “berat” kepolisian, Anton masih menyisakan salah satu ruang dalam dirinya untuk berkontemplasi. Sebagai orang Sunda yang mencintai adat istiadat dan budaya tanah kelahirannya, ayah dari Rahma Nur Agnitya dan Valino Charly Alviano, ini telah membuktikan kecintaannya dengan karya nyata.

Kepedulian terhadap budaya lokal ini juga menjadi salah satu hal yang membentuk Anton menjadi polisi yang beda, bahkan unik – karena begitu fasih berbicara sejarah dan budaya nusantara, khususnya budaya masyarakat Jawa Barat. Persentuhan dengan budaya berikut berbagai persoalan terkait membuat Anton lebih peka dan arif memandang persoalan. Hal ini makin kentara saat dia mengemban tugas sebagai Kapolwil Priangan Polda Jawa Barat.

Terbitnya buku “Menguak Tabir Kampung Naga” pada 2013 adalah bukti nyata kepeduliannya terhadap sejarah dan budaya Sunda yang membesarkannya. Khususnya, sumbangsih bagi masyarakat tradisional/adat Kampung Naga di Tasikmalaya, tanah kelahirannya.

“Apabila kita gali secara mendalam, peninggalan leluhur ‘ki Sunda’ melalui Kampung Naga, memiliki nilai-nilai kearifan filosofis yang manusiawi dan universal, serta masih relevan untuk dijadikan pandangan hidup kita dalam mengarungi kehidupan sekarang,” demikian Anton menulis dalam buku yang disusun bersama Dr Elis Suryani NS, MS itu.

Kiprah Anton dalam pelestarian budaya tak berhenti hingga di situ. Dia juga memprakarsai dibangunnya Monumen Kujang di pelataran parkir Kampung Naga. Bahkan, dia memotori upaya pelestarian situs-situs peninggalan sejarah Sunda dengan penancapan papan-papan peringatan. Yang unik, dia mewajibkan pencantuman aksara Sunda pada papan-papan nama kesatuannya.

Kedekatan dan kepedulian terhadap budaya sedikit banyak membawa pengaruh dalam olah rasa dan pikir seorang Anton Charliyan. Tak mengherankan jika dia menjadi sosok polisi yang beda dalam memandang persoalan. Begitu pun dalam menyikapi hubungan dan pergaulan dengan berbagai kalangan.

Honorary Police adalah penghargaan yang digagasnya sebagai bentuk penghormatan untuk berbagai kalangan. Beberapa tokoh masyarakat, budayawan, pejabat, seniman, bahkan wartawan sempat menerima perhargaan ini.

“Penghargaan ini berangkat dari hati nurani saya yang tulus. Penghargaan ini juga diberikan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang, sekecil apa pun,” ungkap Anton.

Begitu banyak hal menjadi fokus perhatian sosok yang ikut memprakarsai pembangunan Tugu Intan di pusat ibukota Garut ini. Selain peduli budaya, Anton juga menjadi figur yang selalu dahaga terhadap ilmu pengetahuan. Tak heran, di tengah seabreg kesibukan, dia masih menyisihkan waktunya untuk mengejar gelar doktor di bidang pendidikan yang diraihnya pada 2012 dari Universitas Negeri Jakarta.

Besar di bidang reserse dan memiliki modal ilmu pendidikan yang kuat, disebut-sebut jadi alasan Anton menempati posisi Kadiv Humas Mabes Polri. Namun, apa pun alasan yang pasti, Anton nyata-nyata tampil sebagai petinggi polisi dengan karakter beda dan penuh warna.

Tak beda dengan batu-batu mulia yang menjadi kegemarannya sejak muda, Anton menawarkan warna-warna beragam dalam memandang persoalan. Laiknya kilau Bacan, Pancawarna Edong, Kalimaya, Pirus, dan Black Diamond yang dikoleksinya, Anton juga siap menggali berbagai sisi berbeda untuk mengurai berbagai hal yang dihadapinya.

Bagi penyusun buku ”Master Leadership” ini, hidup bukan harus berdiam diri, pasrah kemana air akan membawa kita mengalir. Namun, hidup adalah perjuangan dengan terus menjaga energi positif. Hati tercerahkan, hidup terasa indah dan penuh semangat, demikian Anton menulis. (As/Jul)

Related Posts