NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro mengungkapkan kondisi kehidupan Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di Indonesia sangat mengkwatirkan. Banyak persoalan krusial terjadi antara lain overcapacity, maraknya peredaran narkoba, mental aparat, ketimpangan perlakuan aparat hingga memicu terjadinya kerusuhan terus mendera pengelolaan Lapas sampai sekarang.
“Terkesan ada unsur kesengajaan untuk terus memelihara problem krusial tersebut untuk dijadikan proyek. Potret buruk pengelolaan Lapas mencerminkan dari carut marutnya sistem lembaga permasyarakatan,” kata Gigih, Jakarta, Senin (12/11/2018).
Baca juga: KPK Didesak Usut Praktik Kotor Jual Beli Jabatan di Dirjen Lapas
Dia mengungkapkan. salah satunya terjadi di Lapas Perempuan Kelas II A Martapura, Kalimantan Selatan. “Berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan dan laporan masyarakat, banyak terjadi malpraktek (pungutan liar dan pemerasan) yang dilakukan aparat lapas dengan berbagai modus operandinya,” ungkap Gigih.
Pertama, jual beli remisi. Modusnya, kata dia, petugas registrasi melakukan pengelompokan terhadap warga binaan permasyarakatan (WBP) yang dikategorikan memiliki kemampuan finansial dengan target jual beli remisi.
Baca juga: Kabur Massal dari Penjara: Pengamat Sebut Lapas Bisa Dikelola Swasta
“Remisi yang ditawarkan adalah kategori Letter F/hangus milik WBP yang tidak dapat menebus remisinya dengan sejumlah uang. Remisi Letter F ditawarkan kepada WBP yang memiliki kemampuan finansial dengan harga antara Rp 2 juta hingga mencapai Rp 10 juta,” kata Gigih.
Gigih melanjutkan, praktek pungli atasnama ‘remisi’ Letter F yang terjadi di Lapas Perempuan Kelas II A Martapura telah terjadi lama, namun makin mengalami peningkatan sejak dua tahun terakhir ini di bawah Kalapas, Yunengsih. Bahkan, lanjutnya, ada permintaan uang dengan alasan untuk pembuatan taman, kolam, dan lain-lain kepada WBP yang memiliki kemampuan finansial.
Baca juga: Menagih Komitmen Menkumham Memberantas Korupsi dengan Modus Jual Beli Jabatan
“Modusnya pemerasan pada WBP tersebut dijadikan tahanan pendamping (tamping) pemuka di setiap blok nya agar memudahkan pengakomodiran permintaan dari Kalapas. Praktek pemerasan ini berlangsung sebulan sekali, kadang satu minggu sekali secara terus-menerus,” sebutnya.
Kata Gigih, kapasitas Lapas Perempuan kelas II A Martapura adalah 100 orang. Tapi, sampai bulan Oktober tahun 2018 warga binaannya mencapai 372 orang. Jika dalam setahun warga binaan mendapat dua kali remisi (Remisi Umum dan Remisi Khusus) maka dapat dikalkulasi rata-rata pungli yang terjadi bisa mencapai ratusan juta rupiah.
“Patut diduga bahwa maraknya pungli atasnama ‘remisi’ dan ‘pemerasan’ dilakukan secara terstruktur dan rapi sehingga patut diduga hasil kejahatan ini mengalir ke pejabat di lingkungan Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura, Kadiv, Kakanwil Hukum dan Ham Kalsel hingga ke level Direktur di Dirjen PAS,” beber Gigih.
Baca juga: Pemerintah Harus Siapkan Langkah Kongkrit Atasi Over Capacity Lapas
Kedua, problem overcapacity dijadikan modus memperlakukan WBP tidak manusiawi mendorong praktek jual beli fasilitas pelayanan di kamar Lapas yang dilakukan petugas rutan. “Modusnya, petugas lapas sengaja menumpuk tahanan dalam jumlah banyak dalam satu ruangan,” lanjut Gigih.
Tahanan yang ingin pindah dari ruangan sempit itu harus membayar hingga mencapai Rp 1 juta. Pemerasan pun dilakukan terhadap tahanan yang ingin menelepon keluarga. Begitu pula sebaliknya, keluarga yang ingin membesuk tahanan juga dimintai sogokan.
Ketiga, dugaan Kalapas perempuan Kelas IIA Martapura Sdr Yunengsih memiliki ATM berjalan dari Napi Narkoba. Ketimpangan pembinaan dan pemberian pelayanan terhadap warga binaan dari kasus kriminal biasa hingga kasus narkoba sangat berbeda.
“Terlihat ada unsur kesengajaan dari Kapalas untuk memelihara dan memberikan pelayanan khusus kepada Napi Narkoba,” katanya lagi.
Pemberian pelayanan khusus ini tentu tidak gratis, kata dia. Napi Narkoba yang menghuni Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura umumnya adalah bandar-bandar kelas kakap di Kalimantan Selatan memberikan upeti dengan cara menyerahkan ATM dari WBP Narkoba kepada Kalapas.
“Terbukti bahwa Napi Narkoba sering keluar masuk Lapas tanpa surat ijin yang jelas, bahkan leluasa juga menggunakan alat komunikasi,” ungkap Gigih.
“Kehidupan di Lapas sarat dengan uang, uang sangat berkuasa, dengan uang kamu bisa berbuat apapun,” katanya. Setidaknya ini yang dapat menggambarkan modus pungutan liar dan pemerasan yang terjadi di Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura, lanjut Gigih. Pungutan liar dan pemerasan ini berlangsung lama dilakukan secara sistematis dan terstruktur patut diduga melibatkan pejabat Lapas, Kadiv hingga kanwil Hukum dan Ham Kalsel.
“Indikasi awal adalah praktek pungutan liar dan pemerasan terhadap WBP di Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura dan atau Lapas lainnya di Kalimantan Selatan bukan berkurang melainkan makin subur,” jelasnya.
Dia menilai, maraknya pungutan liar dan pemerasan di Lapas seluruh Indonesia yang berlangsung lama ini merupakan cerminan dari buruknya tata kelola Lembaga Permasyarakatan. Bahkan Peraturan Pemerintahan No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintahan Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan telah mempersubur terjadinya Pungli tersebut.
“Kami meminta komitmen Menteri Hukum dan Ham Bapak Yasonna Laoly untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap sistem pengelolaan Lapas selama ini yang telah menjatuhkan marwah dan integritas Kementrian Hukum dan Ham,” pintanya.
Ditambahkan, Menteri Hukum dan Ham harus melakukan pengawasan ketat terhadap pengelolaan seluruh Lapas di Indonesia agar pungli, peredaran narkoba, jual beli fasilitas, dan lain lain tidak terjadi lagi.
“Menteri Hukum dan Ham harus memberikan sanksi tegas terhadap bawahannya yang terbukti melakukan pelanggaran hukum tersebut,” pungkasnya.
(gn/eda/myp)
Editor: M Yahya Suprabana