NUSANTARANEWS.CO, Bondowoso -Konsep Pesantren Tani yang harus dimatangkan benar, modelnya adalah pesantren didampingi oleh akademik sebagai lembaga yang melihat dari perspektif akademiknya, tanpa mendikte apa yang dilakukan oleh pesantren.
Demikian pesan yang disampaikan Masril Koto, Advisor Bidang Kewirausaan Sosial Kementrian Desa, Pembanguanan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi untuk warga Nahdliyin, Ansor-Banser dan kaum akademik Universitas Jember, Minggu (23/11/2019).
Masril mengatakan, kaum akademik bisa mengisi dan merekomendasikan keterampilan-keterampilan yang dimiliki.
“Jangan hanya melihat susunan modifikasi botol yang disusun dan digantung sebagai alat. Tapi lihatlah isi dari botol dan yang dihasilkannya. Kita merubah dari riset menjadi keterampilan, dari uji implementasi ke penerapan, supaya kerja-kerja hasil bisa lebih cepat dilihat hasilnya secara nyata,” terangnya.
Founder Bank Petani itu menuturkan, pesantren juga harus berinovasi melalui modal sosial dan trust yang didapat dari santri, dan rakyat juga mesti dimaksimalkan.
Menurutnya, pesantren bisa bicara tentang kitab tani dan kitab koperasi dari perspektif nilai-nilai agama. Pesantren ini harus didesain untuk kemajuan umat dalam mengisi kekosongan model pendekatan bertani.
Masril menambahkan, pemerintah sudah gagal melihat pertanian dan memaknai pertanian. Pertanian adalah pemberdayaan, alat pemberdayaan budi daya. Budi adalah kebudayaan nilai-nilai. Sendangkan daya adalah buah dari nilai-nilai.
“Kata Tuhan tanamlah satu, akanku berikan seribu seketika. Rukun Syarat diikuti dengan benar, nah untuk itu lah pesantren dan kitab hadir untuk mengisi kekosongan pertanian, tanpa nilai itu bisa menjadi lebih bernilai,” ungkapnya.
Dia berpendapat, kerja-kerja pertanian adalah kerja kemanusiaan. Maka dari itu pesantren tani harus didesain dengan baik, tidak boleh memihak hanya pada satu agama dan keyakinan atau paham.
Disampaikanya, pesantren harus memihak tentang kemanusiaan. Maka dari itu, bibit pikiran tersebut harus segera dimusyawarahkan antara kaum akademik moderat dan kaum pesantren.
“Jangan sampai disia-siakan waktu ini, karena waktu juga sangat mahal sekali,” tuturnya.
“Saya sudah umur 45 tahun. Kita tidak tau umur ini sampai kapan. Karena kelapa telah menunjukan contohnya. Yang kecil jatuh, yang sedang jatuh, yang tua pun akan jatuh dari pohonya. Mulai lah menyusun dan musyawarahkanlah modelnya pesantren ini segera. Saya insyaallah juga akan berjuang berfikir dari sisi infrastruktur dan pasar hasil tani ini. Buatlah grup kecil, pesantren dan kaum akademik, supaya lebih terarah,” pungkasnya.
Pewarta: Saiful Khoir