NUSANTARANEWS.CO – Sebentar lagi rakyat Indonesia akan melaksanakan hajat besar Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Berbagai persiapan mulai dari KPU, MK hingga pengamanan proses diadakannya Pilkada sudah mulai berjalan. Pilkada merupakan proses pesta demokrasi yang langsung melibatkan masyarakat. Hal ini yang menjadikan proses ini harus sangat diperhatikan dengan melihat berbagai hal yang pernah terjadi pada Pilkada-pilkada yang telah lalu.
Dalam catatan hasil investigasi Indonesia Club disebutkan ada beberapa indikasi dan cara yang biasa ditempuh kepala daerah untuk memenangkan pilkada. Yang mana dalam prakteknya, tak segan para calon kepala daerah menggunakan money politik. Indonesian Club melihat money politik ini terbagi sangat luas menurut tahapannya dalam proses pilkada. Diantaranya diduga adalah:
1. Money politik pertama adalah untuk mendapatkan dukungan dari partai sebagai kendaraan untuk maju dalam pilkada. Proses ini seringkali menjadi persoalan ketika ada salah satu calon pasangan sudah memberikan “sumbangan” (demikian istilahnya) ke partai tetapi tidak lolos dalam rekomendasi dari partai tersebut. Hal inibpernah terjadi pada saat tahun 2015 pilkada Tobasa. Salah satu calon tunggal yang mengajukan diri kemudian tiba-tiba dikalahkan calon lain walaupun calon pertama tadi yang juga wakil ketua DPRD Tobasa telah menyerahkan sejumlah uang kepada partai.
2. Money politik langsung kepada pemilih. Money politik ini pun ada berbagai macam modus operandi uang dilakukan. Dengan membagi sembako, hingga melakukan serangan fajar.
3. Money politik penyelenggara pilkada. Sering kita mendengar saat terjadi pilkada adalah pengamanan suara oleh penyelenggara pilkada. Hal ini tentu sangat mencengangkan bila nantinya terjadi bagi pihak yang tak memiliki cukup dana untuk memenangkan suara dengan cara-cara demikian. Biasanya proses ini sudah dilakukan perencanaan terstruktur sejak lama atau sejak si calon kepala daerah memiliki keinginan maju sebagai kepala daerah di tahun x mendatang.
4. Money politik saat proses penghitungan suara. Money politik ini sedikit memakan pikiran dan tenaga. Karena bila cara ini ditempuh bagi salah satu calon kepala daerah, maka dia harus bisa membuat kondisi lapangan saat pencoblosan langsung, penghitungan, hingga membawa kotak suara ke penyelenggara pemilihan kepala daerah.
5. Money politik yang terakhir adalah money politik yang ada di tingkat nasional untuk memenangkan pilkada. Walaupun pilkada telah usai digelar penghitungan suaranya, calon kepala daerah memiliki satu peluang besar di penghujung pilkada. Penentu pemenangan sengketa pilkada berada di tangan MK, sehingga kesempatan ini yang tidak dapat di sia-sia kan begitu saja oleh calon kepala daerah yang ikut berkontestasi.
Atas dasar dugaan praktik Money politik di atas Indonesian Club mensinyalir adanya aksi suap ketua hakim MK Akik Mochtar dengan 7 sengketa pilkada yang diketahui dimenangkan oleh Akil. Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardhana, dalam Pilkada Lebak dan Banten. Lalu yang terakhir divonis bersalah dalam dugaan suap sengketa pilkada di MK, Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri, dan istrinya Suzanna satu persatu telah dijatuhi hukuman.
Namun demikian, salah satu kepala daerah yang telah terbukti menyuap Akil Mochtar dalam sidang pengadilan kasus sengketa Pilkada adalah Bupati Buton dalam pilkada 2011. Akil megaku telah menerima dana dari calon kepala daerah yang dikalahkan oleh Agus Feisal H, yaitu Samsu Umar Abdul Saimun. Dalam kesaksiannya Samsu Umar pun mengakui telah memberikan dana kepada Akil 1Milyar dengan alasan tidak memiliki uang sebesar 5 Milyar. Namun hingga saat ini Samsu Umar tetap menikmati kursi empuk sebagai bupati Buton tanpa dihukum karena melakukan penyuapan.
Beberpa temuan investigasi Indonesian Club mulai tahun 2013 mengenai suap pemenangan pilkada di MK pda Akil Mohtar dan hingga saat ini yang terus didalami menunjukan, bahwa korupsi bagaikan sebuah kewajiban calon kepala daerah terpilih untuk mengembalikan modal dan memperkaya diri.
Masih jelas ingatan kita terhadap sengketa pilkada kota Palembang, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Paniai, dan Kabupaten Banyuasin, kabupaten Buton, Kota Waringin Barat, kabupaten Lebak, provinsi Banten, dsb. Dalam hal ini Forum Korban Putusan Mahkamah Konstitusi Berdaulat (FKPMKB) menuntut pengusutan berbagai kecurangan yang berlaku di MK. Pada saat itu, ketua MK Akil Mochtar melakukan tindakan korupsi dengan menerima suap dari beberapa kepala daerah yang bersengketa. Diantaranya adalah telah diproses secara hukum dan mendapat hukuman atas penyuapan terhadap Akil Mochtar. Forum ini dahulu diinisiasi oleh beberapa calon kepala daerah yang dikalahkan oleh Akil bersama dengan lembaga penelitian kebijakan publik Indonesian Club. Padahal sebelumnya, calon Bupati Lebak, Bupati nonaktif Morotai Rusli Sibua, bupati Empat Lawang beserta istri, hingga Gubernur Banten telah menerima hukuman akibat penyuapan kepada Akil.
Sungguh mengherankan bila hingga saat ini sang bupati Buton masih bertengger menduduki jabatan sebagai Bupati Buton yang sah walau menyuap ketua MK Akil Mochtar. Dapat diduga kuat ‘Bupati Buton Samsu Umar A Saimun melakukan sesuatu hal yang diluar dugaan oleh publik sehingga dia tetap melenggang menduduki jabatan sebagai bupati hingga saat ini’.
Perilaku para calon kepala daerah seperti Samsu Umar Abdul Samiun ini tidak bisa dibiarkan karena akan menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pilkada di tahun depan. Oleh karena itu bila publik dan para penegak hukum baik KPK, Kejaksaan, Kepolisian, hingga elit politik mendagri dan menkopolhukam harus mengambil langkah tegas terhadap bupati atau kepala daerah yang seperti ini. (Gigih Guntoro, Direktur Eksekutif Forum Korban Putusan Mahkamah Konstitusi Berdaulat / FKPMKB)