ArtikelBerita Utama

Indonesia Dalam Dinamika International: AS Sebagai Sumber Utama Dinamika Internasional (Bagian 2)

Sayidiman Suryohadiprojo/Foto Istimewa
Sayidiman Suryohadiprojo/Foto Istimewa

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

NUSANTARANEWS.CO – Sumber utama dinamika internasional itu adalah AS. Setelah Perang Dunia 2 AS sangat berbeda sikapnya dari sebelum perang. Sebelum Perang Dunia 2 AS cenderung mengisolasi diri dari perkembangan dunia. Ketika Eropa sudah terlibat dalam perang karena Jerman menyerang negara-negara Eropa Barat, masyarakat AS seakan-akan acuh terhadap perkembangan itu. Presiden AS waktu itu, Franklin Delano Roosevelt, menyadari bahaya dari sikap isolasionis ini bagi AS. Sebab itu ia hendak membawa AS turut dalam perang dengan berpihak kepada Inggeris yang tinggal sendirian menghadapi Jerman yang telah berhasil menguasai seluruh daratan Eropa Barat. Roosevelt sadar bahwa kekalahan Inggeris akan menempatkan Jerman sebagai kekuatan besar di Eropa yang sukar ditandingi AS waktu itu. Akan tetapi rakyat AS tidak mau perang. Roosevelt baru berhasil mengajak bangsanya turut perang ketika Jepang menyerang Pearl Harbor pada tanggal 8 Desember 1941. Bangsa AS dibangunkan oleh serangan itu dan dengan penuh semangat masuk medan perang berpihak Inggeris dan sekutunya melawan Jepang, Jerman dan Italia.

Setelah turut perang bangsa AS mencurahkan segenap potensinya yang besar untuk mencapai kemenangan perang. Maka terjadi perkembangan kekuatan bangsa AS dan khususnya industrinya yang tidak pernah dialami sebelumnya. Industri AS yang besar dan kuat itulah yang membawa kemenangan tidak hanya bagi AS sendiri, tetapi juga bagi seluruh sekutu Barat dan bahkan Uni Soviet yang sejak 1941 juga diserang Jerman dan berperang di pihak Inggeris-Amerika.

Namun industri AS yang besar tidak hanya menjadi sebab kemenangan perang Sekutu. Ia juga menjadi sebab peningkatan kesejahteraan rakyat AS yang kuat. Rakyat AS menjadi lebih kaya dari sebelum perang sebagai dampak membesarnya industri AS. Bangsa AS bahkan menjadi terkaya di dunia.

Setelah Perang Dunia 2 selesai dengan sendirinya masyarakat AS ingin melanjutkan momentum kesejahteraan yang kuat itu. Harus ditemukan kegiatan lain yang dapat menyerap hasil industri AS itu. Maka dibuatlah Rencana Marshall unuk membantu pembangunan kembali negara-negara Eropa Barat yang hancur dalam perang. Bahkan Jerman Barat yang bekas musuh AS tetapi setelah perang memihak AS, dan menjadi Republik Federasi Jerman, memperoleh bantuan. Demikian pula Jepang, bekas musuh AS di kawasan Pasifik, mendapat bagian dari bantuan itu. Namun produksi industri barang konsumsi ternyata tidak cukup untuk memelihara momentum kesejahteraan. Hanya produksi industri pertahanan berupa peralatan dan senjata cukup berharga untuk memelihara momentum kesejahteraan AS itu. Maka terjadinya konfrontasi dengan Uni Soviet yang tadinya sekutu AS dalam Perang Dunia 2 merupakan peluang emas bagi tetap terpeliharanya industri pertahanan. Sebab itu ada yang berspekulasi bahwa konfrontasi itu sengaja diciptakan demi memelihara momentum kesejahteraan AS.

Baca Juga:  Pemdes Jaddung Salurkan Bansos Beras 10 kg untuk 983 KPM Guna Meringankan Beban Ekonomi

Sekalipun konfrontasi dengan Uni Soviet tidak menjadi perang terbuka, namun Perang Dingin pun memerlukan kekuatan penangkal berupa kekuatan pertahanan yang besar dan canggih. Inilah yang memungkinkan momentum kesejahteraan AS terpelihara.

Dwight Eisenhower, panglima perang AS dalam Perang Dunia 2 yang kemudian menjadi presiden AS mengatakan bahwa telah terbentuk satu military industrial complex .  Industri pertahanan yang besar tidak hanya bermanfaat bagi pemilik atau pemodal industri itu, melainkan seluruh masyarakat AS turut menikmati dampaknya. Sebagai contoh, antara tahun1940 dan 1996 AS telah membelanjakan untuk perkembangan, percobaan dan pembuatan senjata nuklir saja sekitar AS$ 4.500 milyar.

Namun ketika Perang Dingin selesai timbul masalah bagi AS. Dengan lenyapnya Uni Soviet dan blok komunis sebagai ancaman, sukar ada alasan untuk mengajukan anggaran pertahanan yang besar kepada Kongres. Maka untuk justifikasi anggaran pertahanan besar AS harus menciptakan kondisi internasional yang sesuai.

Mulai tahun 1970-an di AS berkembang pandangan politik yang disebut neo-konservatif. Kaum neo-konservatif berpendapat bahwa AS harus merebut hegemoni dunia. Hegemoni AS atas dunia adalah kewajiban moral bagi bangsa AS, kata mereka. Hegemoni dunia juga perlu untuk menjamin suplai minyak bagi AS yang sangat diperlukan segala aspek kehidupan masyarakat AS, khususnya sebagai sumber energi untuk mendukung industri AS yang besar. Sekalipun di bumi AS sendiri terdapat banyak potensi minyak, tetapi para pemimpin AS menjadikan itu cadangan untuk masa depan. Sedangkan sekarang suplai minyak harus diusahakan semaksimal mungkin dari luar negeri. Karena bangsa-bangsa lain juga memerlukan suplai minyak tidak sedikit, terutama negara-negara industri dan khususnya China yang sedang bangkit sebagai negara industri baru, maka terjadi persaingan kuat untuk menjamin suplai minyak. Sebab itulah AS harus merebut hegemoni dunia.

Baca Juga:  Transparansi Dana Hibah: Komisi IV DPRD Sumenep Minta Disnaker Selektif dalam Penyaluran Anggaran Rp 4,5 Miliar

Kaum neo-konservatif berpeluang memperkuat posisinya dalam pemerintah AS ketika Ronald Reagan menjadi presiden AS. Posisi menjadi makin kuat dengan naiknya George W.Bush sebagai presiden. Ini sangat memperkuat usaha AS merebut hegemoni dunia. Untuk memberikan alasan politik bagi sikap agressif itu politik luar negeri AS mengusung paham perlunya demokrasi dan hak azasi manusia berlaku dalam kehidupan seluruh umat manusia. Sikap agressif ini dilakukan dengan cara damai kalau itu dapat mencapai tujuannya. Akan tetapi juga menggunakan cara kekerasan kalau cara damai tidak membawa hasil memuaskan.

Namun sikap agressif itu menimbulkan reaksi pada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Antara lain reaksi kuat terjadi pada Usama bin Laden, seorang Arab Saudi kaya dan pejuang yang dalam Perang Dingin bersama CIA melawan Uni Soviet di Afghanistan. Usama menjadi marah terhadap AS yang ia anggap menghina bangsa dan tanah leluhurnya Arab Saudi ketika AS menempatkan pasukan militernya di sana dalam melakukan Perang Teluk pada tahun 1990. Untuk melawan AS ia mengumpulkan semua pejuang Muslim yang telah berjuang bersamanya di Afghanistan dan menamakan organisasinya Al Qaeda. Dengan cara perlawanan teror Al Qaeda berusaha merugikan kepentingan AS di mana-mana. Usahanya yang paling spektakuler adalah serangan 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington DC. Baru sekali ini dalam sejarahnya yang panjang AS mendapat serangan di buminya sendiri .

Namun peristiwa itu justru menguntungkan kaum neo-kon untuk mengajak bangsa AS bersikap agressif. Presiden George W. Bush dan kawan-kawannya neo-kon berhasil membangkitkan rasa patriotisme yang kuat pada bangsanya dengan alasan membalas penghinaan yang telah terjadi terhadap AS. Bush menyatakan Perang terhadap Teror dan membawa AS menyerang Afghanistan yang dituduh menyembunyikan Usama bin Laden dan melindungi Al Qaeda. Itu tidak cukup bagi mereka, setelah itu AS juga menyerang Irak secara unilateral tanpa persetujuan PBB. Alasannya Irak membuat senjata destruksi massal nuklir yang tidak sah dan mempunyai peran membantu Al Qaeda dalam serangan 11 September 2001. Namun kemudian alasan itu sama sekali tidak terbukti. Memang alasan itu dicari-cari, sebab motif utama serangan adalah penguasaan minyak Irak yang besar volumenya. Selain itu untuk memperkuat posisi AS di Timur Tengah. Sekalipun banyak negara tidak setuju dengan tindakan AS dan hanya Inggeris dan negara-negara yang amat setia pada AS yang turut bergabung, namun AS tetap yakin akan kebenaran usahanya. Sekarang setelah menduduki Irak alasannya adalah membuat Irak negara demokrasi yang akan memelopori demokratisasi Timur Tengah. Pasti serangan terhadap Irak juga dilandasi kepentingan untuk memperkuat posisi Israel di Timur Tengah, karena kaum neokon sangat dekat dengan Israel. Dalam pikiran neokon serangan AS harus meluas ke Iran dan Suriah untuk menguasai Timur Tengah yang kaya minyak. Penguasaan Timur Tengah memberikan landasan pula bagi AS untuk memperkuat posisinya di wilayah Asia Tengah yang juga kaya minyak. Meskipun ternyata serangan AS ke Irak tidak menghasilkan kondisi sebagaimana diharapkan dan AS malahan menjadi terjirat oleh kekacauan dan kekerasan tiada henti di Irak serta jatuhnya korban prajurit AS sampai 3000 orang lebih, tetapi AS sama sekali tidak kapok dan tetap bersikap agressif terhadap Iran dan bagian lain Timur Tengah. Tidak ada usaha serieus untuk menyelesaikan Masalah Palestina secara adil karena AS memang berpihak kepada Israel. Dengan sendirinya sikap AS demikian mengundang reaksi banyak pihak dan tidak hanya bangsa-bangsa Timur Tengah. Sekalipun pada tahun 2007 AS mengadakan konferensi Annapolis yang katanya akan memecahkan Masalah Palestina, namun banyak pihak menyangsikan adanya hasil yang memuaskan semua pihak. (sayidiman.suryohadiprojo)

Related Posts