HukumPolitik

Ilustrasi Demokrasi ala Indonesia dan Konsep Dwikewarganegaraan

NUSANTARANEWS.CO – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru saja memasuki usianya yang ke-71. Kebahagiaan bangsa Indonesia sejenak nampak terpancar dari wajah anak-anak sekolah dasar di lapangan saat menyanyikan lagu-lagu kebangsaa dan memberi hormat kepada bendera Sangsaka Merah Putih. Begitu pula dengan mereka yang berada di sawah-ladang, di laut, di kebun, dan menikmati masa hari tua di rumah, pun turut serta mengkhidmati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

Ada rasa bangga dalam sanubari masing-masing orang Indoneisa. Namun, rupanya tidak sesederhana itu melukiskan wajah kemerdekaan Indonesia yang dibangun atas semangat nasionalisme dan patriotisme para pejuang terdahulu. Tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 masih belum sepenuhnya berlangsung. Barangkali demikianlah ironi dan paradoks Indonesia kini. Dimana kompleksitas masalah dan persoalan seolah menjadi keniscayaan. Sebab sebagian para pemangku kekuasaan, tidak sepenuhnya tulus berbakti pada nusa dan bangsa.

Ambil satu contoh masalah yang marak menjadi perdebatan publik, yaitu ide dwikewarganegaraan yang diserukan presiden Joko Widodo (Jokowi). Konkretnya, Presiden Jokowi tidak mengedepankan kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Sebab, rakyat dari Indonesia bagian mana yang menjadi ilham kesimpulan bagi Presiden Jokowi untuk mencetuskan Undang-undang dwikewarganegaraan. Sama sekali tidak ada, sekalipun ada, itu lahir dari segelintir orang yang hanya ingin menikmati kekayaan Indonesia untuk dirinya sendiri. Dan yang pasti, ide dwikewarganegaraan nyaris hanya untuk kepentingan warga asing di Indonesia.

Menyikapi hal tersebut, Dosen tetap Ilmu Politik FISIP UKI (Universitas Kristen Indonesia) Sidratahta Mukhtar mengajak kita semua untuk kembali melihat bangunan demokrasi di Indonesia. Menoleh ke masa lalu yang jauh dengan sekian peristiwa penting, memang tidak semudah mengedipkan mata. Perjalan demokrasi Indonesia tidaklah singkat, namun terlampau jauh ke belakang.

Baca Juga:  Ahli Waris Tanah RSPON Kirim Surat Terbuka ke AHY 

Kendati demikian, Sidratahta mencoba memberikan sebuah kisah sederhana terkait demokrasi yang ia sebut demokrasi ala Indonesia. “Upaya untuk melahirkan demokrasi ala Indonesia, nampaknya didorong oleh pandangan bahwa Indonesia memliki sistem yang berbeda dengan negara-negara lain karena Indonesia menganut prinsip kekeluargakaan, persatuan dan kesatuan,” tulis Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UKI itu dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi politik bertema, Nasionalisme dan Masalah Dwikewarganegaraan di Indonesia, di Tebet Timur Dalam Raya No. 43, Kamis (25/8).

Dalam hal ini, Sidra mengacu pada ungkapan Bung Hatta bahwa, sistem demorasi ala Indoensia merupakan konsep demokrasi yang memiliki sifat demokratis masyarakat asli Indonesia bersumber dari semangat kebersamaan atau kolektivitasme yang hidup dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia, seperti bentuk tolong menoleong dalam tata kehidupan masyarakat agaris Indonesia.

“Hatta pun mengatakan, dalam sistem kolektivisme itu melakukan proses pengambilan keputusan melalui mekanisme musyawarah dan mufakat. Penting diutamakan adalah inti dari kebangsaan (nasionalisme) yang bagi Hatta adalah cinta tanah air. Dimana dia berseru, selama masih ada penjajahan, selama itu pula diperlukan kebangsaan,” tegasnya.

Berdasakan pemikiran di atas, Direktur Center for Security and Foreign Affairs Studies (CESFAS) UKI itu mengidelakan supaya negara dan terutama elite-elite pemerintahan harus mengambil segala tindakan yang berorientasi rakyat dan bangsa sendiri ketika berhadapan dengan kepentingan dan kebijakan luar negeri dengan negara lainnya. “Dalam kasus kebijakan politik luar negeri Idonesia dengan Malaysia baru-baru ini dalam sengketa wilayah dan peristiwa penangkapan petugas negara kita oleh pihak Malaysia masih belum menunjukkan sikap membela warganegara sendiri secara maksimal dan adil,” ungkapnya.

Baca Juga:  Wacanakan Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, Golkar Sebut Ganjar Kurang Legowo

Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa cara-cara penanganan masalah TKI di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Timur Tengah, masih juga menunjukkan sikap membela kepentingan dan kebijakan negara-negara setempat. Bahkan cenderung menyalahkan warga negara sendiri. Hal ini menunjukkan masih rendahnya rasa nasionalisme para pejabat dan diplomat Indonesia yang bertugas diberbagai negara di seluruh penjuru dunia.

“Saya pernah mengalami suatu pengalaman diperlakukan dengan kurang etis oleh aparat keamanan (satpam) KBRI Bangkok. Usai saya menjadi delegasi sebagai Indonesian Young Leader dalam World Youth Peace Summit Asia Pacific di Bangkok tahun 2004, saya mendatangi keduataan RI di Bangkok. Saat sampai depan kedutaan, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh satpam KBRI asal Thailand adalah Anda mau apa dan dari TKI Indonesia ya. Sikap kurang ramah kerap kali saya alami ketika mengikuti berbagai forum internasional di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Sikap dan tindakan seperti itu merupakan perilaku khas birokrasi Indonesia,” ungkapnya berkisah.

Terisnpirasi dari pengalaman tersebut, Sidra menilai bahwa, pada dasarnya bangsa dan masyarakat Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat dunia, dan karenanya kita memerlukan visi internasional juga. Indonesia juga memiliki diaspora yang tinggi di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika, serta Australia. Oleh karenanya, elemen-elemen masyarakat bangsa ini harus membuka diri kepada dunia luar melalui wadah komunikasi dan ilmu pengethauan, serta mekanisme diplomasi total yang menjadi kelaziman universal.

Baca Juga:  Masuk Cagub Terkuat Versi ARCI, Khofifah: Insya Allah Jatim Cettar Jilid Dua

“Selama ini masalah kewarganegaraan seperti tidak terurus sama sekali, akibatnya ketika kekuatan diaspora itu ingin dilibatkan dalam pembangunan bangsa disaat-saat kritis, khususnya ketika SDM (Sumber Daya Manusia) yang kompetitif untuk formasi struktural kekuasaan tertentu seperti energi dan SDA (Sumber Daya Alam), maka muncul berbagai kesulitan dalam pemberdayaannya,” kata Sidra.

Baginya, masalah dwikewarganegaraan merupakan aspek yang penting bila dilihat dalam konstruksi nasionalisme Indonesia. Sebagaimana diketahui Indonesia merupakan negara yang lahir dari revolusi nasionalisme. “Meminjam istilah Bill Liddle, akibat nasionalisme yang tinggi, Indonesia sangat sensitif terhadap semua isu-dan relasi asing (internasional). Semua yang berkaitan dengan asing sebagai ancama. Padahal sebetulnya, interaksi masyarakat dengan Indonesia sudah sangat lama, di mana etnik, agama, dan bahkan lainnya merupakan produk dari transformasi dari masyarakt internasional juga. Artinya, menurut pendapat saya, konsep dwikewarganegaraan tak menjadi soal, bila masyarakat Indonesia sudah siap dan well educated menjadi bagian dari komunitas warga dunia,” terangnya.

Kendati demikian, Sidra dengan tegas mempertenyakan, siapkah Indonesia menggunakan sistem dwikewarganegaraan? Kompetisi head to head antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN secara profesional, sudah jelas Indonesia kalah. “Namun yang terpenting adalah implikasi hukum dwikewarganegaraan di Indonesia di segala bidang kehidupan, secara historis, jauh bertentangan dengan konsep nasionalisme Indonesia berpegan teguh pada prinsip bebas aktif dan punya visi internasional,” pungkasnya. (Sulaiman)

Related Posts

1 of 4