NUSANTARANEWS.CO, Solo – Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menilai eskalasi ketegangan masyarakat saat ini –tahun polotik jelang pilpres 2019– menggambarkan watak dan karakter bangsa yang adiluhung mulai terkikis. Ini terbukti dengan banyaknya kejadian intoleransi, ketidakadilan, kurangnya pemenuhan hak-hak dasar manusia dan lain sebagainya.
Untuk itu, semua elemen bangsa mesti merapatkan barisan menjelang pilpres 2019 yang mulai memanas. Sebab konstelasi politik saat ini dinilai sudah melenceng dari semangat pemilu karena sebagian kalangan justru asyik berseteru tanpa mengindahkan norma dan etika.
Baca Juga:
- PMII Unila Himbau Kader NU Jaga dan Lestarikan Budaya Sebagai Jati Diri Bangsa
- Rakernas PB IKA-PMII, Sudarto: IKA-PMII Siap Topang NU Jadi Penyangga Negara
- Mantan Ketua PB Minta Kader PMII Berfikir Kreatif dan Inovatif Untuk Tangkal Paham Radikalisme
“Kami memandang perlu ada gerakan bersama, pengorbanan bersama, setidaknya untuk saling mengingatkan bahwa apapun perbedaan politik, kita ini masih keluarga besar Indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal IKAPMII Solo Raya Nino Histiraludin dalam keterangan resmi seperti dikutip nusantaranews.co, Senin (19/11/2018).
Alhasil, di enternal alumni PMII bergegas merapatkan barisan. Alumni lintas profesi saat ini tersebar, mereka diajak untuk menjaga persatuan. Hal tersebut ditandai dengan adanya deklarasi sejumlah pernyataan sikap IKAPMII.
Isi dekralarasi tersebut, pertama, mengajak elemen bangsa, khususnya elit partai, aktivis prodem, tokoh masyarakat, tokoh agama untuk bijak dalam menyikapi perbedaan pandangan. Meletakkan semangat perbedaan sebagai nilai positif dalam memajukan bangsa.
Kedua, pileg dan pilpres adalah siklus lima tahunan yang sudah kita jalani selama 70 tahun dan seharusnya semakin waktu membuat kita bertambah dewasa. Memenangkan partai atau capres hendaknya bukan menjadi tujuan melainkan alat untuk mensejahterakan masyarakat.
Ketiga, mewaspadai kelompok-kelompok yang memiliki motif memecah belah, mengadu domba, menyebar fitnah dengan melemparkan isu yang validitasnya diragukan. Termasuk di dalamnya berhati-hati dalam menerima informasi sebab penyebar hoax makin lihai dalam membungkus informasi dan disebarkan melalui berbagai media termasuk didalamnya media sosial atau aplikasi percakapan.
“Keempat, kami meminta media massa baik cetak atau elektronik tetap independen dalam menerbitkan informasi, menjunjung tinggi prinsip verifikasi informasi serta cover both side,” paparnya.
“Sehingga media mampu berperan dalam upaya mereduksi perpecahan bangsa dan terakhir mengajak masyarakat untuk tidak mudah mempercayai informasi yang diterima terutama informasi yang menyesatkan, memiliki motif ekonomi maupun politik serta menahan diri untuk tidak menjadi bagian penyebarluasan informasi tersebut,” imbuhnya.
Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana