HukumTerbaru

Ihwal Pemidanaan Diskresi (I)

NUSANTARANEWS.CO  – Polemik tentang diskresi menyeruak ke permukaan gara-gara ijin reklamasi pantai di DKI Jakarta yang dikeluarkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Polemik ihwal diskresi semakin tajam seiring Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Juli 2016 lalu meminta kepada para penegak hukum untuk tidak mempidanakan kebijakan dan diskresi pemerintah daerah (Pemda). Presiden juga diketahui meminta dengan sangat agar para penegak hukum untuk tidak secara serampangan memperkarakan tindakan administrasi pemerintah.

Menyikapi polemik tersebut, MMD Initiative yang berkantor di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Pusat mengadakan diskusi publik bertajuk ‘Kriminalisasi Diskresi’, Senin (29/8/2016). Diskusi publik yang dihadiri puluhan audiens ini menghadirkan tiga pembicara utama, yakni Laode Muhammad Syarif selaku Wakil Ketua KPK, Iswan Elmi selaku Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, serta W. Riawan Tjandra selaku Pakar Hukum Administrasi Negara.

Sementara itu, Mahfud MD, selaku pendiri MMD Initiative memberikan sambutan dan prolog terkait dengan kriminalisasi diskresi.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Berikut penjelasan dan pemaparan Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma jaya Yogyakarta, W. Riawan Tjandra. Pemerintah Presiden Jokowi kepada Kejaksaan dan Polri agar tidak memidanakan tindakan diskresi administrasi pemerintah dalam rangka kebijakan dan terobosan yang didasarkan atas niat yang baik perlu dilihat sebagai sebuah refleksi kritis terhadap dinamika penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan. Riawan Tjandra menjelaskan, dalam berbagai sidang di Pengadilan Tipikor cukup sering muncul isu hukum seputar melawan hukum berbentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat administrasi pemerintah.

Menurutnya, perdebatan yang sejatinya dalam Hukum Administrasi Negara cukup klasik tersebut seharusnya telah terselesaikan melalui klausul khusus mengenai diskresi yang diuraikan panjang lebar pada Pasal 22 sampai dengan 32 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut, pada intinya telah diatur konsiderasi, cakupan, persyaratan, prosedur dan akibat hukum (legal effect) penggunaan wewenang diskresi oleh pejabat administrasi pemerintah.

Baca Juga:  Ketua IPNU Pragaan Mengkaji Fungsi Chat GPT: Jangan Sampai Masyarakat Pecah Karena Informasi Negatif

“Dengan kata lain, UU Administrasi Pemerintahan berupaya untuk menjadi norma hukum yang menjembatani kesenjangan hukum antara kebutuhan faktual-administratif penyelenggaraan pemerintahan dan batas-batas normatif penggunaan wewenang administrasi pemerintahan yang diikat dengan ketat oleh serangkaian norma hukum yang tersebar dengan berbagai karakter baik perdata, administratif maupun pidana dalam berbagai UU sektoral yang mengikat tindakan hukum administrasi negara bagi setiap pejabat administrasi pemerintah,” jelas Riawan.

Dari mekanisme pengadaan barang/jasa sampai dengan penanganan bencana alam, terdapat berbagai norma hukum yang harus diperhatikan sebelum pejabat pemerintah melakukan tindakan faktual dalam rangka pelayanan publik maupun menetapkan Keputusan Administrasi Pemerintah.

“Kelalaian maupun kesengajaan yang melanggar batas-batas penggunaan wewenang baik mencakup substansi maupun prosedur yang diatur secara ketat dalam berbagai UU sektoral bisa menjadikan pejabat administrasi pemerintahan pesakitan di pengadilan,” terang pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini. (eriec dieda)

Related Posts

1 of 3,049