NUSANTARANEWS.CO – Sebuah studi global dari Bank Dunia mengungkapkan bahwa lebih dari 1,1 miliar orang di bumi tidak memiliki identitas resmi. Ini menjadi indikasi bahwa sekiar 15 persen dari populasi global tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Studi tersebut juga melaporkan, orang-orang yang tidak dikenal atau tak memiliki identitas itu kebanyakan tinggal di Afrika dan Asia atau di daerah-daerah yang dilanda kemiskinan, epidemi dan konflik bersenjata terus-menerus. Celakanya, sepertiga dari mereka adalah anak-anak
Menurut kepala program Identification for Development (ID4D) Vyjayanti Desai seperti dikutip NDTV, alasan utama mengapa banyak orang tidak dikenal karena jarak geografis antara populasi di daerah pedesaan dan kota yang notabane ada layanan pemerintah, sangat jauh jaraknya. Bepergian dari daerah di Amazon ke perkotaan, misalnya, bisa membutuhkan waktu lima hari dengan berjalan kaki dan transportasi perahu, kata manan menteri pembangunan Peru Carolina Trivelli.
Bahkan jika orang melakukan perjalanan untuk mengajukan permohonan bantuan, orang-orang dari daerah terpencil yang miskin sering kali bertemu dengan proses birokrasi perkotaan yang sulit dan berbelit.
Masih banyak keluarga yang tinggal di daerah-daerah jauh tidak sadar bahwa tidak terdaftar secara resmi identitas mereka bisa menyebabkan banyak masalah, termasuk penolakan hak asasi manusia dan kemungkinan adanya peningkatan memasuki angkatan kerja di bawah umur.
Perwakilan PBB Annie-Sophie Lois di Jenewa, seperti dikutip Sputnik percaya bahwa banyak orang yang tidak terdaftar karena adanya biaya moneter untuk menyatakan kelahiran. Sementara beberapa keluarga memilih untuk tidak secara resmi diidentifikasi untuk masalah keselamatan dan diskriminasi.
Plan International, sebuah organisasi kemanusiaan, mendirikan sebuah kampanye Every Child Counts pada tahun 2005, yang sejak saat itu mendaftarkan lebih dari 40 juta anak di 32 negara. Organisasi tersebut mengembangkan aplikasi mobile yang dapat digunakan oleh pemimpin desa untuk menginformasikan kepada pemerintah tentang kelahiran dan kematian di komunitas mereka.
“Sistem registrasi kelahiran digital tidak hanya memberi anak-anak identitas legal namun juga memberi sumber informasi yang terus menerus kepada pemerintah melalui pengumpulan data,” kata Lois.
Gambaran data yang jelas mengenai populasi bangsa yang sedang berkembang sangat penting bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan juga entitas hak asasi manusia lainnya, untuk mengalokasikan sumber daya dan bantuan di seluruh dunia. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantarNews