NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto angkat suara perihal kasus hukuman mati terhadap Tuti Tursilawati, seorang TKI asal Indonesia di Arab yang mendapat vonis berupa Hadd Ghillah (tanpa ada upaya pemaafan).
Hariyanto menjelaskan, pembunuhan yang dilakukan Tuti Tursilawati pada Mei 2010 itu memang melanggar norma, tetapi hal itu terjadi pasti ada alasannya.
“Alasan terkuat itu adalah adanya kondisi kerja yang tidak layak bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga) Migran,” ungkap Hariyanto dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/10/2018).
Baca Juga:
Buku Ilmu Tauhid Jadi Salah Satu Alat Bukti Aman Dituntut Hukuman Mati
Pembunuh Kim Jong Nam Terancam Hukuman Mati
Soal Eksekusi Hukuman Mati, Komisi III Dukung Ketegasan Kejagung
Dirinya menambahkan, kondisi PRT Migran di Arab Saudi, sangat rentan dengan adanya sistem ‘kafalah’ yang menjadi tradisi bangsa Arab. Sehingga rumah tangga punya kekuasaan penuh, tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk aparat penegak hukum.
“Seharusnya pemerintah Arab Saudi bisa melakukan intervensi, dibolehkan melakukan sidak karena di dalamnya ada pekerja migran,” terangnya.
Pengadilan Arab Saudi sendiri menurut Hariyanto dinilai juga tidak berpresfektif perempuan. Sehingga alasan pelecehan seksual yang disampaikan oleh Tuti, kata dia, tidak menjadi keringanan hukum.
“Tradisi ‘kafalah’ itu juga diperkuat dengan adanya beban biaya penempatan pekerja migran yang ditentukan oleh agen kepada majikan, dengan biaya mencapai 130 juta,” tandasnya.
Pewarta: Adhon Emka
Editor: Alya Karen