Hukum

Hukum Perburuhan Bagi Wanita Haid Era Soekarno

Beberapa Wanita Tengah Memproduksi Roti di Surakarta (Foto Istimewa)
Beberapa Wanita Tengah Memproduksi Roti di Surakarta (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tepatnya 20 April 1948 silam di Yogyakarta, untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia, presiden Soekarno menetapkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Hukum Perburuhan. Terdapat 22 pasal dalam UU yang diumumkan oleh Sekretaris Negara, A.G. Pringgodigdo pada 15 April 1948 tersebut.

Penetapan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1948 ini juga disahkan langsung oleh Menteri Kehakiman yang saat itu dijabat oleh Soesanto Tirtoprodjo. Ada yang istimewa tentang UU tersebut, dimana posisi perempuan di dalam Hukum Perburuhan ini memperoleh perhatian tersendiri oleh pemerintah Orde Lama (Orla).

Dimana dalam Pasal 13, terdapat poin menarik yang dikhususkan bagi buruh perempuan. Pertama buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Kedua, buruh wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandung.

Baca Juga:  Tentang Korupsi Dana Hibah BUMN oleh Pengurus PWI, Ini Kronologi Lengkapnya

Baca Juga:
Rijsttafel, Budaya Makan Nusantara Paling Mewah Era Kolonial
Desentralisasi, Produk Kolonial yang Terus Diwariskan
Era Kolonial, Garam Jadi Komoditi Penting

Ketiga, waktu istirahat sebelum buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jakalau di dalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.

Keempat, dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Sementara berdasarkan Pasal 10, dikaji secara eksplisit ketentuan umum bagi semua buruh, baik wanita maupun pria. Pada pasal tersebut, diuraikan bahwa (1) buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. (2) Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Selanjutnya (3) buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikit-sedikitnya setengah jam lamanya, waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat 1. Kemudian, (4) tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.

Pewarta: Alya Karen
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3,053