Cerpen

Hari Selasa: Kepada Mbah Maimun Zubair

Mbah Maimun Zubair
Nurtaufik. (Foto: Dok. Pribadi)

Hari Selasa: Kepada Mbah Maimun Zubair

Di ruangan terlihat beberapa orang sedang berbincang serius. Terlihat dari raut muka masing-masing yang mengatakan demikian. Beberapa diantara mereka terlihat diantara duduk dan berdiri sesekali melangkah sebelum kembali ke tempat duduknya.

“Bagaimana caranya kita bisa mencegah abah untuk mengurungkan niatnya. Kondisi fisik tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh ini” tanya salah satu diantara putra Kiai Sepuh dalam perbincangan keluarga. Hingga beberapa hari menjelang keberangkatan sesuai jadwal, pihak keluarga kebingungan mencari jalan keluar. Sebenarnya bukan hanya alasan kondisi fisik yang menghawatirkan. Tapi ada firasat tidak nyaman dan membuat merasa gusar. Namun perbincangan malam itu tetap tidak menemukan keputusan. Tidak ada satu pun diantara putra Kiai Sepuh yang berani menyampaikan langsung kepada abahnya.

Dari wajah putra-putra Kiai Sepuh semakin jelas bahwa mereka benar-benar kebingungan. Sebenarnya tidak ada niatan bagi mereka menghentikan niat baik yang diputuskan abahnya. Hanya kekhawatiran karena perasaan yang sayang pada lelaki sepuh yang menjadi rujukan dalam keluarga dan banyak orang.

“Aku punya cara, bagaimana kalau kita meminta kesediaan santri khaddam abah untuk menyampaikan dengan caranya sendiri. Paling penting abah bersedia mengikuti apa yang kita harapkan” salah satu diantara mereka memberi tawaran.

“Apa tidak ada jalan lain? tanya yang lain. Spontan mereka kembali berpikir keras. Namun semua kembali dihadapkan pada kebuntuan.

“Kita sepakat dengan apa yang diusulkan barusan!” suara itu memecahkan kebuntuan. Semuanya mengangguk tanda setuju.

“Baiklah kalau begitu. Tidak ada pilihan lain!” seisi ruangan serentak mengiyakan. Salah satu diantara putra Kiai Sepuh langsung mencari santri yang tadi disebutkan. Santri itu selama ini dikenal memiliki kedekatan dan sering mendapat kepercayaan melayani kebutuhan abahnya.

“Insya Allah, saya akan berusaha menyampaikan apa yang menjadi keinginan pihak keluarga!” ucap santri segera bergegas meninggalkan ruangan dan berjalan menuju ke kamar Kiai Sepuh. Terlihat Kiai Sepuh belajar kitab kuning. Tadi Kiai Sepuh baru datang mengisi pengajian, dan menerima tamu-tamunya. Walaupun secara pendidikan, Kiai Sepuh asli produk pesantren, namun wawasannya luas sehingga tamu yang datang dari berbagai kalangan dengan segenap kepentingan. Ruangan tempat Kiai Sepuh menerima tamu terpasang foto-foto ulama. Ada juga foto presiden, wakil presiden dan Pancasila. Santri tadi langsung mendekat ke arah Kiai Sepuh yang duduk di kursi panjang. Termasuk menyampaikan apa yang menjadi keinginan para putra Kiai Sepuh.

Di ruangan tempat putra-putra Kiai Sepuh berkumpul masih terdengar suara perbincangan. Secara bergantian mereka membicarakan kesaksian terhadap abahnya sambil menunggu kabar selanjutnya.

“Aku seringkali melihat abah menangis ketika dibacakan qasidah Sayyidah Khadijah!”

“Apa kira-kira yang membuat beliau menangis?”

“Entahlah, mungkin ada kerinduan atau rahasia yang sengaja disembunyikan berkaitan dengan istri Rasulullah SAW.”

Tiba-tiba perbincangan terhenti seketika setelah melihat seorang santri yang diutus menyampaikan kegelisahan itu sudah menuju ke arah mereka. Mereka semua beranjak dari posisi duduknya dan menghampiri seperti tidak sabar mendengar jawaban.

“Apa dawuh abah padamu?” tanya salah satu dari mereka.

“Beliau hanya bilang sekareppe dewe,” jawab santri tadi tidak mengurangi dan menambah apa yang disampaikan gurunya itu. Setelah mendengar apa yang disampaikan barusan. Seisi ruangan hanya bisa pasrah dengan apa tadi sudah disampaikan. Mereka pun akhirnya sepakat untuk tidak merecoki keinginan mulia abahnya untuk menunaikan ibadah haji tahun ini.

Setelah tiba waktu pemberangkatan sesuai jadwal yang ditentukan. Mereka mengantarkan abahnya ke Bandara. Terlihat abahnya seperti ingin menggugurkan air mata namun tertahan.

“Pembangunan masjid itu diteruskan!” pinta Kiai Sepuh pada salah seorang putranya. Mendengar permintaan tadi, putranya mengiyakan saja. Dengan berat hati, pihak keluarga melepas keberangkatan Kiai Sepuh dengan menaiki pesawat setelah tadi putranya itu melakukan sungkeman yang cukup lama.

***

Aku sudah lama mengetahui Kiai Sepuh itu. Bisa dikatakan, ia pasti diundang setiap kali pesantren tempatku mondok dulu menggelar acara Haul Almarhumain. Meski sudah lanjut usia. Dawuh-dawuhnya masih jelas terdengar. Pandangannya masih tajam. Aku memperhatikan setiap membaca kitab di hadapan para santrinya, ia sama sekali tidak pernah menggunakan kaca mata. Begitu juga ketika mengisi acara dan mengisi pengajian.

“Kalau mau melihat ahli surga, lihatlah kiai ini!” tutur salah satu dzurriyah gurunya pada sebuah kesempatan. Mendengar pernyataan itu, beliau tidak bisa membendung air matanya.

Setiap memasuki tahun politik, Kiai Sepuh itu menjadi daya tarik bagi para kontestan yang tengah berebut kursi kekuasaan. Mulai tingkat paling bawah sampai paling atas. Wawasan kebangsaannya yang luas seringkali menjadi solusi dan rujukan selama ini. Meski berbeda partai, tidak membuatnya mempersoalkan lawan politiknya. Beda pilihan menjadi keniscayaan yang dipahami sebagai sunnatullah. Tidak menghendaki perbedaan sama halnya menolak sunnatullah. Perbedaan dipahaminya sebagai rahmat bukan alasan untuk membenarkan diri untuk saling menghujat.

“Beliau memang pemersatu. Kearifan yang dimiliki membuat kami tertegun setiap kali bertemu dengannya,” ucap salah seorang aktivis partai yang berbeda dengan Kiai Sepuh.

“Tak satupun aktivis partai yang berani menghujat beliau meskipun berbeda pilihan dan partainya. Kami yang pernah sowan ke dalemnya seperti mendapat pancaran cahaya meneduhkan di tengah terik kontestasi perebutan kekuasaan” Suara orang yang pernah sowan pada Kiai Sepuh tak ketinggalan memberi penegasan. Kemana-mana beliau senantiasa menanamkan semangat bagaimana bangsa mencintai tanah airnya. Beliau sendiri telah lama mencontohkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan orang yang berbeda agama sekali pun, Kiai Sepuh tetap menghormati. Beliau paham bahwa kalau di negara ini bukan Negara Islam tapi Negara Pancasila. Bhinneka Tunggal Ikan benar-benar diamalkan dan dikampanyekan.

Kami sendiri banyak yang memanggilnya Mbah. Bukan karena memiliki hubungan darah. Bukan sebatas karena usianya yang sudah sepuh. Tapi sebutan Mbah itu karena beliau sudah dianggap sepuh dalam segala hal. Baik keilmuan dan kearifan yang dimiliki.

“Usiaku sudah lebih 90 tahun. Doakan khusnul Khatimah” begitulah yang sempat disampaikan Kiai Sepuh pada orang tertentu di waktu-waktu tertentu.

Bersama rombongan, Kiai Sepuh tiba di tanah suci untuk menyelesaikan ibadah haji. Tak ada firasat apapun bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh hampir semua orang yang hidup. Terlebih keluarga dan bangsa ini. Kami masih terasa kurang bersama beliau untuk mendengar dawuh-dawuhnya yang meneduhkan dan syarat kearifan. Hampir ucapannya mengandung makna dan hikmah. Selama di Makkah, Kiai Sepuh masih mempersilahkan tamu-tamunya berjumpa untuk melakukan silaturrahmi.

Dari tanah air, pihak keluarga terus menjalin komunikasi dengan santri yang menyertai Kiai Sepuh.

“Alhamdulillah, keadaan kiai baik-baik saja Gus,” jawab santri itu ketika dihubungi salah satu putra Kiai Sepuh.

Tak ada yang mengerti, apa yang sebenarnya akan terjadi pada Kiai Sepuh. Barangkali sebenarnya beliau sudah memahami namun memilih diam tanpa memberi penjelasan. Fajar merekah di langit Makkah. Embun-embun masih setia menunaikan ibadahnya. Penduduk langit seperti bersiap-siap memberi sambutan istimewa pada tamu yang akan datang dan sudah ditentukan. Malaikat masih sibuk mencatat amal manusia di bumi. Cahaya demi cahaya terus berpantulan dari tanah suci. Cahaya dari para hamba-hambaNya yang sibuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah lainnya. Malaikat yang mendapat tugas mengakhiri riwayat manusia sudah bersiap-siap memisahkan ruh dengan jasadnya. Malaikat yang bertugas di alam barzah juga mulai turun ke liang lahat untuk menanyakan beberapa hal pada manusia sesuai dengan perintah dariNya.

Senin berganti Selasa.

Santri khaddam masih berada di ruangan bersama Kiai Sepuh. Dengan setia ia menjaga gurunya dan melayani kebutuhannya. Ia teringat kembali dengan apa yang dulu pernah diutarakan Kiai Sepuh tentang Keistimewaan Hari Selasa. Mulai hari ketika Allah menciptakan ilmu, para ulama banyak yang wafat. Termasuk guru-guru Kiai Sepuh. Wafatnya ulama berarti pertanda dicabutnya ilmu dengan cara dicabut ahlinya.

“Bukankah sekarang ini memasuki Hari Selasa!” ada kegusaran muncul tiba-tiba di benaknya. Ia teringat cerita Kiai Sepuh mengenai kewafatan para ulama di hari tersebut. Ia langsung mengalihkan pikirannya pada hal lain untuk mendamaikan gejolak batinnya. Segera, ia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil wudu untuk menunaikan salat tahajjud.

Semalam Kiai Sepuh masih berkenan dikunjungi beberapa tamu jamaah haji dari Indonesia. Entah bagaimana dan apa yang sebenarnya terjadi. Secara mendadak keadaan Kiai Sepuh langsung kritis dan tidak sadarkan diri. Tak lama berselang mobil ambulan datang setelah ada pihak yang menghubungi. Kiai Sepuh langsung di bawa ke rumah sakit terdekat. Takdir menghendaki jalan yang berbeda dengan keinginan hampir semua manusia. Allah menghendaki seorang hambaNya itu segera menghadap padaNya.

Hari ini adalah Hari Selasa. Hari dimana Allah menciptakan ilmu dan mencabut ilmu dengan mewafatkan ahlinya. Cuaca di Kota Makkah dingin tidak seperti biasa. Terlihat matahati murung berbela sungkawa atas kewafatan orang mulia tersebut. Ma’la yang menjadi komplek pemakaman orang-orang istimewa sesak manusia mengantarkan Kiai Sepuh pada peristirahatan terakhirnya.

 

Baca juga: Surat Cinta untuk KH Maimoen Zubair

Baca juga: Madah Mbah Maimoen Zubair

 

 

 

Penulis: Nurtaufik, beralamat di Dusun Airlangga RT 06 RW 02 Desa Suling Kulon Kecamatan Cermee Kabupaten Bondowoso. Sehari-hari bergiat sebagai Guru Bahasa Indonesia MA Nurut Taqwa Grujugan Cermee Bondowoso. Buku kumpulan puisinya termuat dalam antologi bersama yaitu Negeri Bahari (Komunitas Negeri Poci), Wasiat Debu(kumpulan puisi santri dan alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Siubondo), Requiem Tiada Henti (Kumpulan Puisi Penyair ASEAN), Pesan Damai Aisyah, Maria, Zi Xing (Kumpulan Puisi Penyair Asean). Saat ini sedang berproses menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya Sokarajjhe Semerbak Jejak. Penulis bisa dihubungi melalui no WA/hp 082 334 483 842, email: [email protected], FB: Muhammad Nur Taufiq Mu’thi, IG: Muhammad N Taufiq

Related Posts

1 of 3,057