“Pendidikan merupakan proses tranformasi kesadaran diri untuk menuju sebuah pengetahuan dan perbaikan” (Imam Al-Gazali: dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an).
NUSANTARANEWS.CO – Merujuk pernyataan Imam Al-Gazali di atas, sesungguhnya pendidikan adalah dasar pokok dalam diri manusia yang tak bisa dipisahkan. Pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu. Artinya, sebuah pendidikan tidak dibatasi oleh tebalnya tembok bangunan sekolahan dan juga sempitnya waktu yang diberikan untuk belajar.
Momen 2 Mei mestinya bisa menjadi momen untuk mereflesikan kembali aral pendidikan nasional di Indonesia. Dengan kata lain, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei harus menjadi momen bermuhasabah tentang konsep pendidikan pluralisme dan multikulturalisme.
Tidak bisa dipungkiri Indonesia menyimpan banyak keragaman, mulai dari ras, agama, bahasa, budaya, dan bahkan warna kulit. Keberagaman tersebut merupakan satu entitas penting dalam membentuk karakter bangsa ini. Dalam hal ini, multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Karena pengaruh itulah penting kiranya, dalam mempertahankan keberagaman yang heterogen itu, perlu yang namanya aplikasi. Aplikasi dalam konteks ini tentunya adalah pendidikan. Mengapa harus pendidikan? Karena pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan dan mengetahui akan keberagaman tersebut. Mungkin yang paling menonjol atas perlunya pendidikan multikulturalis dan pluralis adalah adanya bagian yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia ada karena adanya keberagaman itu sendiri. Jika keberagaman pada tataran ini, tidak mampu dipahami dan dicerna secara sadar dan bijaksana, yang timbul adalah clash (benturan). Misalnya, keruntuhan Orde Baru yang di masa jayanya mengusung Pancasila dengan (P4), ternyata gagal untuk menjadi moral force dalam menyelamtakan bangsa Indonesia dalam kancah pengembangan kesejahteraan masyarakat.
Kegagalan itu dimaknai sebagai kegagalan Negara dalam menjadikan Pancasila sebagai khazanah pengembangan Negara modern berbasis kesejahteraan atau social walfare. Kegundahan itu memang dirasakan banyak kalangan. Makanya, diperlukan perbincangan tentang pentingnya menyegarkan kembali wawasan kebangsaan menjadi isu sentral di dalam konferensi tersebut.
Ada petanda polarisasi berbangsa yang ditandai dengan isu etnosentrisme yang berbasis etnis, ras dan agama. Sementara itu, tantangan globalisasi sudah berada di pelupuk mata. Sebagai bangsa dengan pluralitas dan multikulturalitas yang paling banyak di dunia, maka diperlukan semangat kebersamaan untuk menjaga agar pluralitas dan multikulturalitas tersebut tidak terkoyak dan menjadi penyebab hilangnya kesatuan dan persatuan.
Para founding father sedari awal sudah menyadari bahwa bangsa ini terdiri dari suku, agama, dan ras yang heterogen sehingga harus common platform yang bisa mempersatukannya. Seandainya kala itu itu para agamawan – khususnya Islam – menolak pancasila sebagai pemersatu bangsa dan secara arogan menginginkan Islam sebagai dasar negara, maka negara Indonesia yang seperti sekarang ini, tentunya tidak akan dijumpai. Sebaliknya, bisa kita bayangkan bumi nusantara akan menjadi puing-puing pecahan. Namun, berkat kearifan lokal yang menempatkan kepentingan bangsa jauh di atas kepentingan golongan, suku, dan agama maka Indonesia bisa eksis dan tetap ada sampai sekarang. Pelajaran ini tentu sangat penting bagi seluruh elemen bangsa ini.
Wawasan kebangsaan seungguhnya adalah seperangkat pengetahuan, sikap, dan tindakan yang didasarkan atas kesadaran bahwa mayarakat Indoneia yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwarna-warni suku, agama, etnis, tradisi, dan kebudayaannya adalah bangsa yang satu dan akan terus dipertahankan sampai kapan pun.
Ini artinya, pendidikan multikulturalisme dalam menghadirkan wawasan kebangsaan dan keutuhan NKRI adalah harga mati. Itulah mengapa pendidikan multikulturalime dan pluralisme harus mampu menempatkan pengakuan akan pluralitas dan multikulturalitas ini didasari oleh kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam mengahadapi apa saja, termasuk menghadapi berbagai tantangan, ancaman, dan gangguan yang dapat mencedaerai dan melukai kesatuan dan persatuan bangsa.
Wawasan kebangsaan memang bukan sekedar pengetahuan an sich. Namun dia merupakan wawasan ideologis tentang visi kebersamaan dalam melihat Indonesia secara utuh, bukan melihat dan memahami Indonesia secara sepenggal. Apa jadinya, apabila dalam memahami bangsa ini hanya setengah badan? Mustahil, sebuah keutuhan bisa diwujudkan.
Penulis: M. Romandhon