KolomRubrika

Hari Pancasila, Landasan Falsafah Negara

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi bertajuk "Tinjauan UU Pemilu 2017" dan "Dampak Perppu Ormas" di kantor DPP Partai Bulan Bintang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (21/8/2017). Foto Richard Andika/ NusantaraNews.co
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi bertajuk “Tinjauan UU Pemilu 2017” dan “Dampak Perppu Ormas” di kantor DPP Partai Bulan Bintang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (21/8/2017). Foto Richard Andika/ NusantaraNews.co

Penulis: Yusril Ihza Mahendra*

NUSANTARANEWS.CO – Sebagian orang menyebut tanggal 1 Juni adalah Hari Lahirnya Pancasila, yang sekarang sebagian orang menyebutnya dengan istilah Hari Pancasila. Pancasila adalah landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke 4. Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai “landasan falsafah negara” bukan dasar negara atau ideologi sebagaimana sering kita dengar. Istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yang ditanyakan Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Diawal sidang, Radjiman berkata, sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti?. Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah negara. Bagi saya ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yang mendasar, filosofis dan universal. Beda dengan ideologi yang bersifat eksplisit yang digunakan oleh suatu gerakan politik, yang berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya.

Baca Juga:

Baca Juga:  RAB Kulon Progo Bagikan Ratusan Kotak Makanan dan Snack untuk Tukang Ojek, Tukang Becak, dan Tukang Parkir

Landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dai semua aliran politik yang ada di dalam negara itu.

Ada beberapa tokoh yang menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan ttg apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh-tokoh yang memberi tanggapan atas pertanyaan Radjiman. Sukarno adalah pembicara terakhir yang menyampaikan tanggapannya pada 1 Juni 1945. Dia mengusulkan 5 asas untuk dijadikan sebagai landasan falsafah. Sukarno menyebut 5 asas yang diusulkannya itu sebagai Pancasila.

Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bahwa dalam BPUPKI itu terdapat 2 golongan, yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, kata Supomo, menghendak Indonesia merdeka berdsarkan Islam. Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara.

Setelah itu dibentuklah Panitia 9 untuk merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan semua masukan yang diberikan para tokoh. Kesembilan tokoh itu adalah Sukarno, Hatta, Ki Bagus, Agus Salim, Subardjo, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Maramis dan Yamin. Sembilan tokoh itu, 4 mewakili Gol Kebangsaan, 4 mewakili Gol Islam, dan 1 mewakili Gol Kristen. Sembilan tokoh ini merumuskan naskah proklamasi yang sekaligus akan menjadi Pembukaan UUD. Naskah tersebut disepakati pada tgl 22 Juni 1945.

Baca Juga:  Polisi Pamekasan dan LSM Gapura Door To Door Berbagi Bansos Menjelang Bulan Puasa

Yamin menyebut naskah itu “Piagam Jakarta” yang berisi gentlemen agreement seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta kompromi tercapai, Indonesia tidak berdasarkan Islam, tapi juga tidak berdasarkan sekularisme yang pisahkan agama dengan negara. Dalam Piagam Jakarta itulah untuk pertama kalinya kita temukan rumusan Pancasila sebagai landasan falsafah negara yang disepakati semua aliran.

Ketika proklamasi, naskah Piagam Jakarta tidak jadi dibacakan sebagai teks proklamasi. Teks baru dirumuskan malam tgl 16 agustus. Teks baru proklamasi yang dibacakan tgl 17 agustus adalah teks yang kita kenal sekarang “Kami bangsa Indonesia..” dst. Namun naskah Piagam Jakarta disepakati akan menjadi Pembukaan UUD yang disahkan tgl 18 Agustus 45.

Sebelum disahkan, Sukarno dan Hatta minta tokoh-tokoh Islam setuju kata Ketuhananan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemulknya dihapus. Walaupun kecewa, namun Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima ajakan Sukarno dan Hatta.

Kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akhirnya dihapus dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara Pancasila dengan rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 adalah terjadi tgl 18 Agustus 45. Jadi hari lahirnya Pancasila bukanlah tgl 1 Juni, tetapi tgl 18 Agustus ketika rumusan final disepakati dan disahkan.

Baca Juga:  Ramadhan Berbagi, Pemdes Rombasan Santuni Anak Yatim dalam Peringatan Nuzulul Qur'an

Pidato Sukarno tanggal 1 Juni barulah masukan, sebagaimana masukan dari tokoh-tokoh lain, baik dari gol kebangsaan maupun dari gol Islam. Apalagi jika kita bandingkan usulan Sukarno tanggal 1 Juni cukup mengandung perbedaan fundamental dengan rumusan final yg disepakati 18 Agustus. Ketuhanan saja diletakkan Sukarno sebagai sila terakhir, tetapi rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama. Sukarno mengatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan trisila dapat diperas lagi menjadi ekasila yakni gotongroyong. Rumusan final Pancasila menolak pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekesila tsb.

Demikianlah penjelasan saya tentang Hari Lahirnya Pancasila atau Hari Pancasila semoga ada manfaatnya.

*Penulis: Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang

Related Posts

1 of 3,188